Dasar-Dasar Agronomi

-->
SEJARAH SISTEM PERTANIAN

I.                  PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani. Ini didukung dengan kondisi tanah serta iklim yang berlaku di Indonesia.
Belakangan ini mulai muncul petani-petani modern yang lebih kreatif dalam memanfaatkan peluang yang ada. Mulai dari menciptakan varian-varian tanaman baru sampai memaksimalkan kondisi lahan untuk meningkatkan hasil panennya.
Sistem pertanian merupakan pengelolaan komoditas tanaman untuk memperoleh hasil yang diinginkan yaitu berupa bahan pangan, keuntungan financial, kepuasan batin, atau gabungan dari ketiganya.
Pada bab ini akan dibahas tentang perkembangan pertanian, sistem bertanam daerah tropika, sistem pertanian di indonesia dan klasifikasi sistem pertanian.
Mengamati perkembangan pertanian saat ini tentu saja tidak bisa melepaskan dari asal mula pertanian itu ada.  Saat ini pertanian dapat lihat dan dirasakan manfaatnya  karena tidak terlepas dari rentetan cerita panjang atau sejarah pertanian masa lampau.
Sistem pertanian didaerah tropika seperti Indonesia, berbeda dengan daerah subtropis dan daerah beriklim sedang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi iklim, jenis tanaman dan keadaan sosial ekonomi petaninya.
Di Indonesia ditemukan berbagai sistem pertanian yang berbeda baik tingkat efisiensi nteknologinya maupun tanaman yang diusahankan seperti sistem ladang, sistem tegal, sistem sawah, dan sistem kebun.
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu sistem pertanian yang bersifat mengumpulkan hasil tanaman, sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman, dan sistem pertanian untuk ternak dan padang penggembalaan.

II.               PEMBAHASAN
2.1.         Perkembangan Pertanian
Para ahli prasejarah umumnya bersepakat bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di daerah “bulan sabit yang subur” di Timur Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania sekarang.
Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti emmer) dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian.
Pertanian telah dikenal oleh masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum), perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan pangan.
Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat (Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara).
Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM.
Setiap tanaman yang ada sekarang telah dikembangkan pada zaman pra sejarah. Hal ini tercapai dengan dua cara yang berbeda :
1.    Penjinakan (Domestication), yaitu dengan membudidayakan atau mengelola species liar.
2.   Seleksi, yaitu dengan penangkaran yang berbeda-beda dari species tersebut.
Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu :
1.   Pemburu dan pengumpul
            Manusia pertama yang menempati daerah hutan tropika sekitar laut cina selatan adalah Alitik atau Prapaleolitik. Mereka adalah kelompok pengumpul makanan dengan cara mengumpulkan tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, berburu, dan menangkap ikan.
            Manusia pengumpul makanan dan pemburu di Asia Tenggara adalah dalam arti mereka tidak menetap lama pada suatau tempat. Tempat hidup mereka umumya, mereka makan dedaunan, bunga, biji, buah, kulit, umbi, dan akar tanaman. Pengetahuan untuk menghilangkan racun dari bahan makanan serta cara mengawetkan juga banyak dimiliki oleh para pengembara tersebut.
2.   Pertanian primitif
            Berladang merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia, dari berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam dengan sifat menyebarkan penduduk (berpindah-pindah). Berladang merupakan suatu sistem/pola pertanian di mana hutan alam diubah menjadi hutan yang dapat menghasilkan kebutuhan pangan bagi manusia secara direncanakan yang berlangsung secara perputaran. Dilihat dari sehingga ekologi, ciri yang paling positif dari berladang ialah bahwa sistem pertanian itu lebih berintegrasi ke dalam struktur umum dari ekosistem alami yang sudah ada sebelum sistem pertanian itu direncanakan. Berladang dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuh-nya tanaman.
3.   Pertanian tradisional
            Pada pertanian tradisional, orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
4.   Pertanian progresif (moderrn)
            Saat kini pertanian yang dikenal sudah sangat maju dan berkembang dengan pesat, dari semua aspek pertanian dikembangkan berbagai macam terobosan-terobosan baru dan teknologi-teknologi terkini yang semakin memudahkan bagi para petani dalam mengelola pertanian dan meningkatkan hasil produk-produk pertanian.
            Dalam pertanian modern, manusia menggunakan akal dan pikirannya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan. Usaha pertanian merupakan usaha yang efisien, masalah-masalah pertanian dihadapi secara ilmiah melalui penelitian-penelitian, fasilitas-fasilitas irigasi dan drainase dibangun dan dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, pemuliaan tanaman dilakukan untuk mendapatkan varietas unggul yang berproduksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta masak lebih cepat.

2.2.         Sistem Bertanam Daerah Tropika
Daerah tropis kering dicirikan oleh adanya perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan kemarau. Di daerah semacam ini dibutuhkan sistem pertanaman yang menghasilkan pangan yang cukup dan bergizi, meskipun terjadi variasi curah hujan yang sangat tinggi dari tahun ke tahun dan musim kemarau yang panjang. Hasil pertanian yang tinggi tergantung pada pemanfaatan curah hujan selama musim hujan dan air yang tersimpan di dalam tanah selama musim kering. Karena itu tanaman yang mengkonsumsi air secara efisien serta menghasilkan produksi tinggi dan bernilai gizi tinggi yang seharusnya ditanam.
Krisis ekonomi dan perubahan iklim di Asia dan Pasifik telah membuktikan kelemahan-kelemahan tersebut, dan dampaknya pada kegagalan panen yang pada akhirnya mempengaruhi perekonomian petani bahkan perekonomian nasional. Curah hujan yang lebih rendah dari yang diperkirakan berpengaruh terhadap penyiapan lahan dan gangguan pertumbuhan tanaman. Hal ini menyebabkan penyempitan luas tanam dan produksi rendah. Krisis ekonomi berdampak pada harga dan ketersediaan sarana produksi pertanian.
Penerapan sistem tumpang sari pada bedeng permanen mengurangi ketergantungan petani terhadap berbagai masalah seperti pendanaan dan iklim serta memperbaiki jumlah dan kualitas gizi pangan yang dihasilkan.
A. Sistem Perladangan Berpindah
            Pada awalnya, sistem perladangan berpindah terjadi saat pertama kali manusia mengenal bercocok tanam. Dengan tingkat pengetahuan yang sangat rendah, manusia pada waktu itu belum mengenal pengelolaan lahan dan teknologi yang digunakan, sehingga sistem perladangan ini disebut sistem asal tanam.
            Ladang Berpindah adalah kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat. Ladang dibuat dengan cara membuka hutan atau semak belukar. Pohon atau semak yang telah ditebang/dibabat setelah kering kemudian dibakar. Setelah hujan tiba, ladang kemudian ditanami dan ditunggu sampai panen tiba. Setelah ditanami 3 – 4 kali, lahan kemudian ditinggalkan karena sudah tidak subur lagi.
            Kejadian ini berlangsung terus menerus, setelah jangka waktu 10 -  20 tahun, para petani ladang kembali lagi ke ladang yang pertama kali mereka buka.
            Akibat dari sistem perladangan berpindah ini yaitu menurunnya kesuburan lahan dengan cepat karena belum mengenal pemupukan. Ketika lahan sudah tidak produktif lagi, mereka pindah lalu membuka hutan baru atau kembali mengerjakan lahan yang sudah lama ditinggal dan sudah pulih kesuburan tanahnya. Namun dinegara lain, seperti Afrika, sistem pertanian berpindah ini bukan lagi beronotasi negatif. Dengan teknologi yang terus diperbaiki, sistem ini merupakan alternatif yang cocok untuk dikembangkan.
            Prinsip Utama dalam sistem perladangan berpindah adalah bahwa selama periode bera, nutrisi yang diambil oleh tumbuhan/vegetasi yang ada akan dikembalikan ke permukaan tanah berupa sisa tanaman (sersah). Bahan organik yang tertimbun di permukaan tanah akan tersedia (melalui proses dekomposisi) bagi tanaman berikutnya setelah vegetasi tersebut ditebang atau dibakar.
            Di Indonesia, sistem berladangan berpindah masih mendatangkan masalah besar karena di khawatirkan dapat mengganggu fungsi paru-paru lingkungan (karena hutan ditebang) dan keanekaragaman hayati serta emisi CO2 yang terkait dengan pemanasan global. Selain itu, kegiatan tersebut sering menyebabkan bahaya erosi yang akan merusak lahan dan lingkungan.
B.  Sistem Tadah Hujan Semi Intensif dan Intensif
            Sistem bertanam adalah pola pola tanam yang digunakan petani dan interaksinya dengan sumber-sumber alam dan teknologi yang tersedia. Sedangkan pola tanam adalah penyusunan cara dan saat tanam dari jenis-jenis tanaman yang akan ditanam berikut waktu-waktu kosong (tidak ada tanaman) pada sebidang lahan tertentu.
Pola tanam ini mencakup beberapa bentuk/ macam sebagai berikut:
1.   Multiple Cropping (Sistem Tanam Ganda)
Adalah sistem penanaman lebi dari satu jenis tanaman pada sebidang tanah yang sama dalam satu tahun. Yang termasuk dalam sistem tanam ganda ini adalah: Intercropping, Mixed Cropping, dan Relay Cropping.
Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini :
a)   Mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah
b)   Memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia
c)   Menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah
d)  Mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula
e)   Mampu menghemat tenaga kerja
f)    Menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami secara terus menerus
g)   Pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali
h)   Mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman
i)     Memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organik.
a.   Intercropping (Sistem Tumpang Sari)
Adalah sistem penanaman secara serentak dua tau lebih jenis tanaman dalam barisan yang berselang-seling pada sebidang tanah yang sama. Contohnya : tumpangsari antara tanaman ubi kayu dan jagung atau kacang tanah.
Sistem tumpangsari memberikan beberapa manfaat bagi petani yakni antara lain mengurangi biaya pengolahan lahan, mudah dalam menanggulangi hama, memudahkan proses pembersihan atau penyiangan dan yang terakhir adalah meningkatkan hasil produksi atau panen.
b.   Mixed Cropping (Sistem Tanam Campuran)
Adalah sistem penanaman dua atau lebih jenis tanaman secara serentak dan bercampur pada sebidang lahan yang sama.  Sistem ini jarang diterapkan karena sulit dalam proses pemeliharaannya. Sistem tanam ini lebih banayak diterapkan dalam usaha pengendalian hama dan penyakit.
c.    Relay Cropping (Sistem Tanam Sisipan)
Adalah sistem penanaman suatu jenis tanaman kedalam pertanaman yang ada sebelum tanaman yang ada tersebut dipanen. Sistem penanaman ini dalam istilah lain seperti sistem tumpang sari dimana tidak semua jenis tanaman ditanam pada waktu yang sama. Contoh khas dari sistem penanaman ini di Indonesia yaitu : Padi gogo dan jagung ditanam bersama-sama kemudian ubi kayu ditanam sebagai tanaman sela satu bulan atau lebih sesudahnya.
2.   Seguantial Cropping (Pergiliran Tanaman)
Adalah sistem penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan dalam satu tahun, dimana tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian pula bila ada tanaman ketiga, tanaman ini ditanam setelah tanaman kedua dipanen.
3.   Maximum Cropping (Pergiliran Tanaman)
Adalah pengusahaan lahan untuk mendapatkan hasil panen yang setinggi-tingginya tanpa memperhatikan aspek ekonomisnya (biaya, pendapatan atau keuntungan) dan apalagi aspek kelestarian produksinya dalam jangka panjang.
4.   Sole Cropping / Monoculture (Sistem Tanam Tunggal)
Adalah sistem penanaman satu jenis tanaman pada lahan dan periode waktu yang sama.

2.3.                 Sistem Pertanian di Indonesia
1.                   Sistem Ladang
Merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian.
2.                   Sistem Tegal
Pekarangan berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal pada umumnya jarang menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan.
3.                   Sistem Sawah
Merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian  tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.
4.                   Sistem Perkebunan
Baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh dan coklat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang sistem perkebunan berkembang dengan manajemen yang industri pertanian.

2.4.                 Klasifikasi Sistem Pertanian
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Ruthenberg, 1980):
1. Sistem pertanian yang bersifat pengumpulan hasil tanaman
2. Sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman
3.  Sistem pertanian untuk makanan ternak dan padang penggembalaan.
1.    Sistem Pertanian dengan Pengumpulan Hasil Tanaman
Sistem ini adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tanaman dari tanaman-tanaman yang tidak dibudidayakan, sistem ini biasanya dijalankan bersamaan dengan sistem berburu binatang dan tangkapan ikan. Jarang sistem pengumpulan hasil tanaman terdapat sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah seperti di Irian Jaya sistem ini masih terdapat.
2.    Sistem Pertanian dengan Budidaya Tanaman
Sistem ini merupakan sistem pertanian yang paling utama. Di daerah tropik terdapat banyak sistem budidaya tanaman, dan klasifikasinya dapat dilakukan berdasarkan beberapa ciri-ciri spesifik sebagai berikut:
§  Berdasarkan Tipe Rotasinya
Berdasarkan tipe rotasinya dapat diklasifikasikan 4 macam sistem budidaya tanaman yaitu : Sistem dengan rotasi bera secara alami; sistem dengan rotasi dengan makanan ternak (ley system); sistem dengan rotasi tegalan (field system); sistem dengan rotasi tanaman tahunan.
a)   Sistem pertanian dengan rotasi bera secara alami
Sistem ini adalah sistem dimana budidaya tanaman, bergantian dengan bera (bera = uncultivated fallow).
Bentuk-bentuk vegetasi yang terdapat pada bera secara alami dapat berupa :
- Pohon-pohon yang dominan (forest fallow)
- Semak-semak yang dominan (Bush fallow)
-  Kayu tahan api yang dominan dan rumput (savanna fallow)
-  Rumput yang dominan (Grass fallow)
b)   Sistem pertanian dengan rotasi dengan makanan ternak
Ini adalah sistem dimana lahan ditanami tanaman-tanaman semusim untuk beberapa tahun, kemudian dibiarkan rumput tumbuh, atau lahan ditanami rumput dan atau leguminosa untuk padang penggembalaan. Ley system yang diatur yaitu tanaman semusim/pangan, dirotasikan dengan tanaman rumput dan atau leguminosa, yang dipotong untuk ternak. Ley system secara alami yaitu setelah tanaman semusim, dibiarkan rumput tumbuh secara alami untuk padang penggembalaan ternak.
c)    Sistem pertanian dengan rotasi tegalan
Sistem dimana tanaman semusim yang satu ditanam setelah tanaman semusim yang lain pada lahan kering.
d)   Sistem pertanian dengan rotasi tanaman tahunan
Termasuk tanaman-tanaman tahunan adalah tebu, teh, kopi, kelapa, karet dan sebagainya. Tanaman-tanaman tahunan seperti itu dapat ditanam bergantian dengan bera, tanaman semusim, padang penggembalaan ataupun tanaman-tanaman tahunan yang lain.
·      Berdasarkan Intensitas Rotasinya
Untuk klasifikasi sistem pertanian berdasarkan kriteria intensitas rotasi,     digunakan pengertian R (intensitas  Rotasi) dimana :
R = Jumlah tahun lahan ditanami   x 100 %
Lama siklus (tahun)

Siklus = jumlah tahun lahan ditanami + tahun bera (intensitas rotasi ini memakai alat ukuran waktu). Jadi misalkan dalam siklus 10 tahun, 2 tahun lahan ditanami, dan 8 tahun diberakan, maka R = 2/10 x 100 = 20 %. Atau misalkan dalam siklus 20 tahun, 2 tahun lahan ditanami, 18 tahun diberakan, maka R = 2/20 x 100 = 10 %
Ø Bila R < 33 %, pertanian tersebut tergolong sistem perladangan (shifting cultivation).
Ø Bila R adalah kurang 60 % tetapi lebih dari 33 % ( 33 < R < 66) sistem     pertanian digolongkan sistem bera.
Ø Bila R > 66 %, sistem pertanian ini digolongkan sistem pertanian permanen.
     Bila lahan bera 7 tahun, ditanami 7 tahun, maka R = 7/14 x 100 = 50 %, ini tergolong sistem bera.
     Istilah lain yang serupa dengan intensitas rotasi (rotation intencity) adalah intensitas penanaman (cropping intencity). Istilah ini memakai varian (alat ukur) luasan. Intensitas penanaman atau cropping intencity index dapat dihitung berdasarkan :
Bagian dari areal ditanami (ha) dibandingkan terhadap areal pertanian
tersedia (ha), dikalikan 100 persen, atau dengan rumus :
Cropping Intencity Index = 1
=      Luas area yang di tanam (ha)    X    100% / tahun
                                  Luas area tersedia(ha)
Jadi misalkan luas areal pertanian tersedia = 100 ha, dan bila dari luas tersebut tiap tahun ditanami satu kali seluas 40 ha, maka
I = 40 /100  X 100 = 40 %.
Makin besar I, makin besar persentase areal lahan ditanami (ha) dibanding dengan luas areal total (ha) tiap tahunnya. Pada pertanian permanen, indeks penanaman (I) lebih besar dari 66 % (sebagian besar atau seluruh lahan ditanami lebih dari satu kali dengan sistem pola tanam ganda).
§  Berdasarkan Suplai Air
Pertama-tama sistem pertanian tersebut digolongkan menjadi sistem pertanian dengan, atau tanpa pengairan. Pertanian dengan sistem pengairan adalah sistem pertanian dimana air dapat diatur masuk ke dalam lapangan sehingga tingkat kelembaban lebih tinggi dibanding bila tanpa irigasi; umum disebut pula dengan nama pertanian lahan kering (dry farming). Pertanian kering umumnya terdapat pada daerah semi arid, tetapi di Indonesia dimana terdapat iklim humid – semi humid, juga banyak terdapat pertanian lahan kering.
Nama sistem pertanian yang lebih tepat berdasarkan klasifikasi pemberian air adalah sistem pertanian berpengairan (irrigated farming) dan sistem pertanian tadah hujan (rainfed farming).
Klasifikasi lain yang juga didapat berdasarkan suplai air adalah lahan sawah (lahan basah), yaitu tanah yang lembab dan dibuat berteras serta digenangi air dan ditanami padi sawah, meskipun lahan tersebut tidak selalu didukung dengan irigasi (misal sawah tadah hujan). Sebagai kebalikan dari sistem pertanian lahan sawah (lowland) adalah pertanian lahan darat (upland farming) atau pertanian lahan  kering, yaitu sistem pertanian dimana lahannya tidak digenangi air dan dalam keadaan kering (umumnya di bawah kapasitas lapang).
§  Berdasarkan Pola Tanam
Klasifikasi sistem pertanian berdasarkan pola tanam merupakan klasifikasi sistem pertanian yang terpenting di daerah tropis, yang biasanya didukung dengan penggunaan ternak. Petani-petani yang penghasilannya (gross returnnya = hasil yang diperoleh dan dipasarkan ditambah yang dikonsumsi keluarga, dan yang untuk persediaan) serupa, dapat dikelompokkan berdasarkan pola tanam yang dianut, misalnya : padi – palawija, kopi – pisang dan sebagainya. Dan dalam pertanian permanen yang intensif dapat dikenal berbagai bentuk pola tanam seperti : pola tanam campuran, tumpangsari, dan sebagainya.
§  Berdasarkan alat-alat Pertanian yang Digunakan
Berdasarkan hal tersebut secara garis besar dapat digolongkan sistem budidaya pertanian sebagai berikut:
1.    Sistem pertanian pra-teknis yaitu sistem pertanian dimana hanya digunakan alat-alat sangat sederhana atau tanpa alat-alat sama sekali, seperti pertanian bakar (pertanian perladangan yang tanpa persiapan apa-apa, kecuali dibakar untuk mendapatkan abu), perladangan tebang-bakar, sistem pelepasan ternak untuk menginjak-injak lahan sebagai persiapan tanah atau pengolahan tanah (di pulau Sumba, Sumbawa dan sebagainya) sistem pertanian dengan tongkat tanam, dan sebagainya.
2.    sistem pertanian dengan cangkul dan sekop.
3.    Sistem pertanian dengan bajak-garu yang ditarik hewan
4.    Sistem pertanian dengan bajak-garu yang ditarik traktor

§  Berdasarkan Tingkat Komersialisasi
Dalam hal ini terdapat sistem yang berbeda, dan sesuai dengan hasil kotor (gross return) yang dijual terdapat penggolongan sebagai berikut:
1.    Pertanian subsisten : yaitu dimana hampir tidak ada penjualan ( < 20 % dari produksi pertaniannya dijual).
2.    Setengah komersial = bila +/- 50 % dari nilai hasil pertaniannya dikonsumsi oleh keluarga, dan selebihnya dipasarkan.
3.    Pertanian komersial, yaitu bila lebih dari 50 % dari hasil pertaniannya dipasarkan. 

§  Berdasarkan Tingkat Teknologi dan Pengelolaan terutama untuk tanaman  perkebunan, dapat dibedakan, perkebunan rakyat, perkebunan besar, dan PIR.

Sistem Pertanian untuk Padang Penggembalaan dan Peternakan
 karena rendahnya potensi lahan padang penggembalaan di daerah tropik umumnya, maka terdapat penggembalaan berpindah-pindah (nomadis – semi nomadis), yang kadang-kadang disertai dengan peningkatan padang penggembalaan dalam sistem Ranch. Nisban ternak/luas umumnya rendah yaitu 2 -3 ternak besar/ha. Pertanian ternak atau peternakan umumnya diklasifikasikan berdasarkan ketetapan tinggalnya (stationariness) dari peternak maupun ternaknya, sebagai berikut:
1.    Total nomadis = Tidak ada tempat tinggal permanen bagi peternaknya dan,  tidak ada sistem budidaya tanaman makanan ternak teratur, sehingga selalu bergerak.
2.     Semi nomadis = Peternak mempunyai tempat tinggal permanen, dan di sekitarnya ada budidaya makanan ternak sebagai tambahan, tetapi untuk waktu lamanya, ternak dan penggembalaannya bergerak pada daerah-daerah yang berbeda.
3.    Transhuman = Peternak mempunyai tempat tinggal permanent, tetapi ternaknya dengan bantuan penggembala, mengembara pada daerah penggembalaan yang berpindah-pindah dan jauh letaknya.
4.    Partial Nomadis = Peternak tinggal terus menerus pada tempat pemukiman yang tetap, dan penggembalaannya hanya pada daerah sekitarnya.
5.    Peternakan menetap = Ternaknya sepanjang tahun berada pada lahan atau desanya sendiri.

III.           KESIMPULAN
Perkembangan pertanian tidak bisa dilepaskan dari rentetan cerita panjang atau sejarah pertanian masa lampau. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti emmer) dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian.
Sistem bertanam daerah tropika dicirikan oleh adanya perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan kemarau. Sistem bertanam daerah tropika terdiri dari sistem perladangan berpindah dan sistem tadah hujan semi intensif dan intensif.
Sistem bertanam adalah pola pola tanam yang digunakan petani dan interaksinya dengan sumber-sumber alam dan teknologi yang tersedia. Sedangkan pola tanam adalah penyusunan cara dan saat tanam dari jenis-jenis tanaman yang akan ditanam berikut waktu-waktu kosong (tidak ada tanaman) pada sebidang lahan tertentu. Pola tanam ini mencakup beberapa bentuk/ macam sebagai berikut: multiple cropping (sistem tanam ganda), sole cropping / monoculture (sistem tanam tunggal), maximum cropping (pergiliran tanaman), seguantial cropping (pergiliran tanaman).
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Ruthenberg, 1980):
1. Sistem pertanian yang bersifat pengumpulan hasil tanaman
2. Sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman
3. Sistem pertanian untuk makanan ternak dan padang penggembalaan.
DAFTAR PUSTAKA


Ardian. 2012. Sistem pertanian. Diunduh dari
 http://usb-verhaal.blogspot.com/2012/04/sistem-pertanian.html (diakses 24 September 2012)

Darius. 2011. Sistem penanaman ganda (Multiple cropping). Diunduh dari
http://berusahatani.blogspot.com/2011/01/sistem-penanaman-ganda-multiple.html (diakses 24 September 2012)

Jarwani. 2009. Diunduh dari http://forjusticeandpeace.wordpress.com/2009/08/27/sistem-tanam-tumpangsari/ (diakses 25 September 2012)

Tim Penulis Dasar-dasar Agronomi. 2010. Diktat Dasar-dasar Agronomi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Jambi.







SISTEM PERTANIAN
I.                  PENDAHULUAN
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahanc pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan  pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.
Di era 80-an jutaan hektar lahan rawa lebak dibuka untuk padi sawah. Saluran irigasi dan drainase permanen lantas dibangun. Sayang, alih-alih dapat mengatur pasokan air sesuai kebutuhan padi, banyak saluran beton justeru merusak tata air makro dan mikro. Lahan kering saat musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Teknologi drainase bersekat mengatasi kelemahan itu.
Di masa itu banyak saluran irigasi dan drainase mengadopsi sistem irigasi di lahan kering. Contohnya pintu drainase menggunakan pintu sorong sistem ulir atau sistem pasak. Pada model itu air keluar melalui celah yang terbentuk di bagian dasar saluran dengan batas pintu terbawah. Sangat optimal untuk pengairan di lahan kering yang membutuhkan sumber air dari luar lahan (daerah hulu dan saluran).
Pada zaman sekarang ini,kita tidak perlu mengalami kesulitan lagi untuk menyiram tanaman karena sistem irigasi dapat kita terapkan pada lahan kering.Seiring dengan perkembangan zaman,manusia telah terbantu untuk mengoptimalisasi kekeringan yang terjadi.

II.               PEMBAHASAN
2.1 Sistem Irigasi
2.1.1 Sistem Irigasi Lahan Kering
            Sistem irigasi merupakan  salah satu pendukung ketahanan pangan. Sistem irigasi pada lahan kering  dapat diatasi dengan irigasi tetes.Selain untuk mengairi tanaman yang mengalami kekeringan,irigasi tetes juga dapatmenghemat air dan pupuk dengan membiarkan air menetes pelan-pelan ke akar tanaman, baik melalui permukaan tanah atau langsung ke akar, melalui jaringan katup, pipa dan emitor.
Irigasi tetes merupakan metode pemakaian air untuk tanaman yang terdiri dari jalur pipa yang ekstensif biasanya dengan diameter yang kecil yang memberikan air yang tersaring langsung ke tanah yang dekat dengan tanaman. Alat pengeluaran air pada pipa disebur “ pemancar” (emiter) yang mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam. Dari pemancar, air menyebar secara menyimpang dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi.
 Daerah yang dibatasi oleh pemancar tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah dan permeabilitas tanah vertikal dan horisontal. Aliran dapat diatur secara manual atau dipasang secara otomatis untuk menyalurkan volume yang diinginkan, air untuk waktu yang telah ditetapkan atau air apabila kelembaban tanah menurun untuk suatu jumlah tertentu (Hansen, 1979). Hillel (1982) mendefiniskan irigasi tetes sebagai pengaliran air secara perlahan dalam bentuk tetesan yang berlainan, tetesan yang terus menerus, cucuran yang kecil atau spray mini melalui peralatan mekanik yang dinamakan emiter yang terletak pada titik-titik tertentu sepanjang aliran air.



 Beberapa keuntungan, dari sistem irigasi tetes adalah :
 1. Pengelolaannya mudah, semprotan hama, panen, pemangkasan dan sebagainya dapat dikerjakan pada saat yang sama dengan irigasi, yang sangat besar manfaatnya untuk kebun buah-buahan.
2. Mengurangi tenaga kerja, hal ini penting bagi negara-negara yang sulit untuk memperoleh tenaga kerja di lahan dan sangat mahal.
3. Dapat mengontrol air dan pupuk, dimana jumlah air, pupuk dan frekuensi pemakaian dapat dikotrol dengan sistem ini. Irigasi ini dapat mengontrol jumlah air dan pupuk pada daerah akar dan sekitarnya sehingga pertumbuhannya meningkat. Peningkatan sampai 10-20% hasil panen dan 20 –30% penghematan air dapat diharapkan dar penggunaan irigasi tetes ini (Turner, 1984).
4. Kehilangan air akibat perkolasi dan evaporasi berkurang, karena air langsung diberikan dekat dengan tanaman yang menyebabkan basah di daerah perakaran saja. Sehingga penguapan air sangat efisien dan peningkatan penggunaan efektivitas air dapat tercapai.
5. Mudah mengendalikan hama penyakit, gulma, bakteri dan jamur, karena sebagian saja tanah yang basah, sedang di daerah lainnya tetap kering yang menyebabkan tanaman pengganggu sulit untuk tumbuh dan berkembang (Scwab, 1981)
6. Dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen, sebagai akibat dari kemampuan irigasi tetes dalam memelihara tanah agar tetap lembab pada daerah perakaran. Irigasi ini sangat baik untuk tanaman buah-buahan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, seperti : apel, tomat, jeruk, anggur, arbei dan sebagainya. Namun, tidak praktis dan ekonomis untuk tanaman yang ditanam secara rapat, seperti padi-padian.


Disamping keuntungan tersebut, irigasi tetes juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya :
1. Penyumbatan, masalah yang paling besar dari sistem irigasi ini adalah Sensitif terhadap penyumbatan pada emiter. Partikel pasir, liat, sampah, lapisan endapan bahan kimia dari pupuk dan bahan organik yang dapat menyumbat aliran dari pemancar.
2. Perkembangan akar terbatas, karena irigasi tetes memberikan air hanya pada sebagian volume tanah,maka akar tanaman akan terkonsentrasi pada daerah pembasahan saja (Turner, 1984).
 3. Biaya investasi mahal.
 4. Dibutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk dapat merancang, mengoperasikan dan memelihara peralatan penyaringan dan peralatan irigasi tetes.
5. Akumulasi garam di dekat daerah perakaran. Bila garam yang tidak larut tertinggal di dalam tanah, karena air yang digunakan oleh tanaman, pengendapan yang paling banyak adalah di daerah perakaran. Apabila hujan membilas garam dekat permukaan ke dalam daerah perakaran dapat mengakibatkan kerusakan yang hebat pada tanaman (Hansen, 1979).
2.1.2 Sistem Padi Sawah
Padi (oryza sativa) adalah bahan baku pangan pokok yang penting bagi rakyat Indonesia. Menanam padi sawah sudah mendarah daging bagi sebagian besar petani di Indonesia. Mulanya kegiatan ini banyak diusahakan di pulau Jawa. Namun, saat ini hampir seluruh daerah di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kegiatan menanam padi di sawah. 
Sistem penanaman padi di sawah biasanya didahului oleh pengolahan tanah secara sempurna seraya petani melakukan persemaian. Namun kebutuhan airnya harus terpenuhi. Oleh karena itu ada beberapa sistem budidaya yang dikenal di Indonesia,diantaranya:


1.   Bertanam padi di sawah tadah hujan
Dalam mengusahakan  padi di sawah, soal yang terpenting adalah bidang tanah yang ditanami harus dapat:
· Menanam air sehingga tanah itu dapat digenangi air. 
· Mudah memperoleh dan melepaskan air. 
Pematang atau galengan memegang peranan yang sangat penting, karena dalam sistem bertanam padi di sawah tadah hujan ini, pematang atau galengan ini harus kuat dan dirawat, karena bertanam padi di sawah tadah hujan memerlukan air, sehingga dengan galengan-galengan sawah ini air dapat bertanam di petakan sawah. Dan padi dengan sistem penanaman tadah hujan ini tidak dapat ditanam pada tanah yang datar. 
Penggarapan bertanam padi di sawah tadah hujan ini digarap secara “basahan” yaitu menunggu sampai musim hujan tiba dan dalam proses penanaman padi ini memakai bibit persemaian.
2.   Bertanam padi pada lahan kering
  Dalam mengusahakan padi di lahan kering atau ladang atau biasa disebut padi gogo ini, relatif lebih mudah dibandingkan dengan padi sawah tadah hujan. Dalam sistem penggarapan padi di lahan kering atau ladang ini biasa dikerjakan sebelum musim penghujan tiba. Sementara dalam proses pembibitan atau penanamannya, padi gogo rancah ini tidak memerlukan persemaian, sehingga benih dapat langsung ditanam di sawah sebelum atau pada permulaan musim hujan sehingga tidak ada resiko bibit menjadi terlalu tua. 
Padi gogo rancah ini tidak banyak memerlukan air hujan, pada permulaan selama 30 atau 40 hari. Hidup padi ini keringan bahkan bila kebanyakan air hujan, maka air tersebut harus dibuang. Sesudah itu bilamana air hujan cukup, maka padi gogo rancah ini dapat dijadikan padi sawah biasa. Tetapi kalau tidak ada hujan, dapat hidup kekeringan, maka resiko mati sangat kecil.


3.   Bertanam padi tanpa olah tanah (TOT).
           Meskipun disebut bertanam padi sawah ini tanpa olah tanah tetapi tidak berarti bahwa tak ada persiapan sama sekali. Sistem ini masih merupakan bagian pengolahan tanah konservasi yang melibatkan perbedaan mendasar dengan penanaman padi biasa. Pembajakan dan pencangkulan di dalam sistem TOT ini tidak ada dan dalam sistem TOT ini dilakukan penyemprotan herbisida terhadap sisa tanaman padi (singgang) atau gulma yang tumbuh.
           Secara umum kegiatan bertanam padi sawah tanpa olah tanah ini dapat diartikan sebagai penanaman padi di lahan sawah yang persiapan lahannya tanpa pengolahan tanah dan pelumpuran, tetapi cukup dengan bantuan herbisida dalam mengendalikan gulma dan singgangnya.          Tanaman padi ini dapat tumbuh seperti pada lahan yang diolah biasa. Hal  ini disebabkan karena singgang dan gulma yang membusuk akan melonggarkan tanah sehingga akar padi dapat berkembang dengan mudah dan tanaman padi dapat tumbuh seperti biasa. Bibit padi dari persemaian dapat langsung ditanam pada tanah tanpa olah yang sudah lunak karena digenang terlebih dahulu. Dapat juga benih ditebarkan langsung (tabela) atau ditabur dalam air yang sudah disediakan.
Keuntungan menanam padi dengan sistem Tanpa Olah Tanam (TOT):

· Kualitas pertumbuhan tanaman dan hasil panen tidak berbeda dengan penanaman  padi biasa.
·  Menghemat biaya persiapan lahan 40% yang juga mengurangi biaya produksi.
· Menghemat waktu musim tanam sampai 1 bulan, artinya jumlah penanaman dalam satu tahun air ditingkatkan.
· .Mengurangi pemakaian air lebih dari 20%.
· .Mempermudah kemungkinan penanaman secara serempak sehingga konsep pengendalian hama terpadu (PHT) padi sawah diterapkan.

2.1.3 Sistem Tanam Campuran Tanaman Semusim dan Tahunan
Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed cropping (pohon dengan tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak akan menaungi tanaman yang lain.  Beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan ‘facilitation’.Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya memberikan  naungan yang menguntungkan bagi tanaman kopi.
Contoh lain, jenis tanaman yang berperakaran lebih dalam daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara dari lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya akan menimbulkan kompetisi anta Dalam sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan
Pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaaan sumber kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan terhadap tanaman lain. Hambatan dapat terjadi secara langsung maupun  tidak langsung. Hambatan secara langsung, misalnya melalui efek  allelophathy, tetapi hambatan secara langsung ini jarang dijumpai di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui berkurangnya intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara dan air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman  yang berdampingan.
2.2 SISTEM PERTANIAN DI INDONESIA
Adapun sistem pertanian yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
2.2.1 Sistem Pertanian Dengan Pengumpulan Hasil Tanaman
Sistem pertanian dengan pengumpulan hasil tanaman, sistem ini adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tanaman dari tanaman-tanaman yang tidak dibudidayakan, sistem ini biasanya dijalankan bersamaan dengan sistem berburu binatang dan tangkapan ikan. Jarang sistem pengumpulan hasil tanaman terdapat sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah seperti di Irian Jaya sistem ini masih terdapat.
 2.2.2 Sistem Pertanian Dengan Budidaya Tanaman
Dalam pertanian, budidaya merupakan kegiatan terencana pemeliharaan sumber daya hayati yang dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat/hasil panennya. Kegiatan budidaya dapat dianggap sebagai inti dari usaha tani.
Usaha budidaya tanaman mengandalkan pada pengguna-an tanah atau media lainnya di suatu lahan untuk membesarkan tanaman dan lalu memanen bagiannya yang bernilai ekonomi. Bagian ini dapat berupa biji, buah/bulir, daun, bunga, batang, tunas, serta semua bagian lain yang bernilai ekonomi. Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan dengan media tanah dikenal pula sebagai bercocok tanam.
Suatu kegiatan dimasukkan kedalam  tindak budidaya dikatakan  apabila telah  melakukan 3 hal pokok yaitu:
1. Melakukan pengolahan tanah
2. Pemeliharaan untuk mencapai p roduks  i     maksimum.
3. Tidak   berpindah    pindah
2.2.3 Sistem pertanian untuk padang penggembalaan dan peternakan
Pasture adalah semua rumput atau tanaman lain untuk dirumput/disenggut oleh hewan: “herbage”. Yang termasuk kelompok ini adalah semua hijauan baik yang dipotong atau tidak dan diberikan segar . Padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh tanaman pakan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat merenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Padang penggembalaan dapat terdiri atas rumput-rumputan, kacang-kacangan atau campuran keduanya, dimana fungsi kacang-kacangan dalam padang penggembalaan adalah memberikan nilai makanan yang lebih baik terutama berupa protein, phosphor dan kalium .
Tipe Padang Penggembalaan
Padang penggembalaan dapat diklasifikasikan menjadi empat golongan utama, yaitu: Padang Penggembalaan Alam, Padang Penggembalaan Permanen yang sudah diperbaiki, Padang Penggembalaan Buatan (Temporer), dan Padang Penggembalaan dengan Irigasi.

1.   Padang Penggembalaan Alam
Spesies tumbuh-tumbuhan pakan ternak yang terdapat dalam golongan ini belum disebar atau ditanam dan floranya relatif belum diganggu oleh campur tangan manusia (McIlroy, 1976). Reksohadiprodjo (1994) menambahkan bahwa manusia hanya mengawasi ternak yang digembalakan. Ternak berpindah-pindah secara normal. Menurut Mc Illroy (1976), pengikutsertaan leguminosa yang sesuai untuk membentuk pertanaman campuran rumput atau leguminosa dan pengaturan penggembalaan merupakan langkah pertama yang penting untuk perbaikan padang rumput ini.

2.   Padang Penggembalaan Permanen yang sudah diperbaiki
spesies-spesies hijauan pakan ternak dalam golongan ini belum disebar atau ditanam tetapi komposisi botaninya telah diubah dengan jalan mengatur penggembalaaan dengan seksama atau dengan pemotongan, drainase, penggunaan pupuk, pengolahan tanah, penanaman ulang dan pemberantasan tumbuh-tumbuhan pengganggu .
3.   Padang Penggembalaan Buatan (Temporer)
Tanaman-tanaman makanan ternak dalam padangan telah ditanam, disebar dan dikembangkan oleh manusia. Padangan dapat menjadi padangan permanen atau seling dengan tanaman pertanian, padang penggembalaan temporer dibedakan menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek dilakukan antara 3-4 tahun yang dilakukan dengan jalan memberikan tanaman selingan berupa tanaman pertanian untuk perbaikan kesuburan tanah.Jangka panjang dilakukan antara 6-10 tahun, dimana setelah mencapai kurang lebih 10 tahun padang penggembalaan dibongkar langsung untuk direnovasi, jadi tanpa adanya tanaman selang.

4.   Padang Penggembalaan dengan Irigasi
Padangan biasanya terdapat di daerah sepanjang sungai atau dekat sumber air. Penggembalaan ternak dijalankan setelah padangan menerima pengairan selama 2 sampai 4 hari. Cara penggembalaan dengan irigasi dibedakan menjadi: cara ekstensif; cara semi ekstensif; cara stripgrazing; seiling (zero grazing) yaitu hijauan dipotong manusia dan diberikan di kandang. Supaya dapat mempertahankan hasil yang tinggi, maka padang penggembalaan irigasi diperlukan pemupukan .
Komposisi botani padang penggembalaan tidak selalu konstan. Perubahan susunan komponen selalu terjadi oleh pengaruh musim, kondisi tanah dan sistem penggembalaan.Komposisi suatu padangan dipengaruhi oleh curah hujan, ketinggian tempat dan pengelolaan penggembalaan. Komposisi botani suatu padang rumput sebagian besar ditentukan oleh tata laksananya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penggembalaan berat pada awal musim penggembalaan yang diikuti dengan periode istirahat cenderung akan menekan jenis tumbuhan yang masak dini dan menguntungkan jenis-jenis yang tumbuh lambat, sedangkan jika menunda penggembalaan sampai musim penggembalaan lebih lanjut akan berpengaruh sebaliknya.

IV.           KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Di Indonesia dikenal ada empat sistem pertanian. Keempat sistem itu adalah :
1.  Sistem ladang merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena sistem hutan.
2.  Sistem tegal pekarangan berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah.
3.  Sistem sawah, merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian  tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.
4.  Sistem perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor.
Klasifikasi Sistem Pertanian :
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
Ø Sistem pertanian yang bersifat pengumpulan hasil tanaman
Ø  Sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman
Ø  Sistem pertanian untuk makanan ternak dan padang penggembalaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek dan Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Zulkarnain. 2001. Pertanian Organik: Sistem Pertanian Berbasis Produktivitas dan Lingkungan Hidup. Universitas Jambi. Jambi.
Mc Ilroy, R. J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita.Jakarta.
http://ilmuternakkita.blogspot.com


TANAMAN DAN DAMPAK LINGKUNGAN

I.                   PENDAHULUAN
Tanaman dapat berfungsi sebagai indikator kondisi lingkungannya. Tanaman bereaksi terhadap kondisi tanah maupun perubahan cuaca. Komposisi tanaman di suatu kawasan, mencerminkan karakter utama ekosistem di lokasi tersebut. Sebab sifat tanaman juga berbeda-beda. Ada yang menuntut kandungan Nitrogen rendah, keasaman tinggi, kelembaban tertentu atau juga suhu tertentu. Parameter ini merupakan nilai indikator yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi habitat.Secara pasif tanaman juga dapat digunakan sebagai alat monitor lingkungan untuk sektor vegetasi yang khas. Tanaman yang dijadikan indikator, biasanya merupakan acuan bagi neraca penggunaan energi dan mineral tertentu di alam. Bio-indikator ini, khususnya mencerminkan efektifitas biologi dari komponen sistem.
Secara alami, tanaman yang dijadikan indikator biologi, mencerminkan pengaruh habitat terhadap jenis dan jumlah tanaman. Tentu saja pengamatan indikator lingkungan semacam itu, memerlukan data pembanding. Selain itu penelitiannya harus dilakukan dalam waktu cukup panjang. Salah seorang pelopor dalam penggunaan bio-indikator dan bio-monitoring adalah almarhum Heinz Ellenberg pakar botani dari Universitas Stuttgart-Hohenheim. Dalam berbagai bukunya Ellenberg memaparkan hasil penelitian selama 30 tahun terhadap karakter vegetasi di Eropa, yang mencerminkan kondisi lingkungannya. Ellenberg misalnya membuat skala suhu dari satu sampai sembilan untuk menentukan karakteristik vegetasi. Kelompok tanaman yang hidup di skala suhu satu, artinya tahan cuaca dingin dan di skala sembilan tahan cuaca panas. Pembuatan skala ini menjadi penting, karena tanaman yang akan dijadikan bio-indikator harus hidup pada skala yang sempit.
Jenis-jenis tanaman yang dapat hidup di suhu dingin maupun panas dengan penyebaran luas, tidak dapat digunakan sebagai indikator. Misalnya saja pengamatan atas sejenis lumut, sejak 150 tahun lalu menghasilkan data cukup lengkap. Artinya lumut tsb dapat digunakan sebagai bio-indikator atau membandingnya. Lumut bereaksi amat sensitif terhadap pencemaran lingkungan, perubahan temperatur serta stress terhadap lingkungan. Perubahan warna lumut, matinya lumut dalam skala besar atau pertumbuhan luar biasa, merupakan indikator terjadinya perubahan. Dari hasil berbagai penelitian itu, tentu saja para ahli mengharapkan dapat menarik kesimpulan menyangkut penyebab perubahan. Misalnya saja sistem tebang habis hutan di berbagai tempat, menyebabkan perubahan kelembaban udara. Emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, menyebabkan pemanasan global dan peningkatan radiasi ultra vilolet, yang jejaknya dapat ditemukan secara luas pada tanaman. Meluasnya serangan gulma di perairan, juga bisa dilacak penyebabnya. Misalnya akibat pemupukan berlebihan atau akibat matinya musuh alami gulma akibat pemanasan global.
Tentu saja kaitan antara berbagai faktor penyebab perubahan lingkungan itu amat rumit. Para ahli biologi meneliti kaitan berbagai faktor tadi, untuk membuat sistem peringatan dini. Misalnya jika radiasi sinar ultra violet meningkat akibat meluasnya lubang ozon, dapat diamati dampaknya pada tanaman. Kesimpulan ilmiah yang ditarik, bisa digunakan sebagai landasan untuk mengingatkan kemungkinan meningkatnya kasus kanker kulit misalnya. Atau juga musnahnya ganggang laut serta terumbu karang dalam skala luas, bisa digunakan sebagai tanda peringatan terjadinya peningkatan suhu air laut.Perubahan ekosistem ada yang sifatnya lokal, regional maupun global. Bila bio-indikator dan bio-monitoring menunjukan perubahan ekosistem secara global, para ahli secara lintas disiplin bisa saling memperingatkan adanya ancaman bahaya. Setelah itu bisa dirundingkan langkah-langkah pencegahannya. Bahkan rekomendasi para pakar, bisa dijadikan acuan bagi tindakan internasional. Kini semakin disadari, perubahan lingkungan sekecil apapun, pasti menimbulkan dampak terhadap makhluk hidup di habitat tsb. Berbagai parameter atau faktor penyebab perubahan dapat dilacak, dengan memperhatikan bio-indikator lokal maupun global. Akan tetapi walaupun alam sudah memberikan peringatan, seringkali manusia tidak memperdulikannya. Sebab seringkali perubahan yang merugikan, adalah produk sampingan dari aktifitas manusia juga.

II.               PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor Biotik yang Mempengaruhi Tanaman
Hama,Penyakit,dan Gulma.
            Hama dan penyakit seringkali mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu, bahkan dapat menggagalkan terwujudnya produksi. Hama yang merusak tanaman bisa disebabkan oleh hewan dari kelas rendah sampai dengan hewan kelas tinggi (mamalia). Sedangkan penyakit tumbuhan disebabkan oleh bakteri dan jamur. Kekurangan hara pun termasuk golongan penyakit. Sedangkan gulma adalah tumbuhan liar yang mengganggu tanaman budidaya. Contoh : rumput, alang-alang, benalu.
Hama
Hama adalah pengganggu tanaman yang berupa hewan. Berdasarkan klasifikasi hama pengganggu tanaman, dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh, yaitu
1.                  Mamalia                     : babi hutan, burung
2.                  Rodentia                    : tikus sawah, tupai
3.                  Anthropoda               : serangga/insekta (ulat)
4.                  Nematoda                  : ulat tanah, cacing
Pertumbuhan dan perkembangan hama seperti pertumbuhan dan perkembangan binatang lain. Mereka juga membutuhkan makanan yang mengandung gizi yang diperlukan oleh tubuh. Tatapi tidak setiap hama cocok dengan makanan yang ada pada seluruh bagaian tumbuhan, kadang-kadang mereka hanya makan bagian tertentu dari tanaman tersebut seperti pucuk tanaman atau titik tumbuh, daun, batang, akar, buah atau biji.
 Kerusakan tanaman atau bagian tanaman yang disebabkan oleh hama menyebabkan kondisi tanaman menjadi tidak normal lagi. Tanda-tanda yang nampak dari luar pada tanaman yang sakit ialah :
1.   Terjadi perubahan warna pada organ tanaman, seperti daun dan batang menguning atau coklat.
2.   Tanaman layu sebagai akibat sel-sel dan jaringan tanaman yang dirusak oleh hama, bahkan tanaman tersebut bisa mati.
3.   Tanaman kerdil karena fungsi jaringan terganggu sehingga tidak dapat menyalurkan makanan dengan baik.
Kondisi tanaman yang tidak normal ini kelak dapat mengakibatkan tanaman kehilangan hasil (jield losses). Hal ini merupakan akibat proses terbentuknya buah atau biji terganggu oleh organ tubuh yang rusak. Beberapa contoh hama yang menyerang tanaman budidaya antara lain :
1.        Tikus menyerang padi, jagung dan singkong
2.        Tupai dan belalang Sexava menyerang kelapa
3.        Kutu loncat menyarang lamtorogung dan petai cina
4.        Ulat penggerek buah jagung (Helicoverpa armigera)
5.        Hama wareng coklat menyerang batang padi (Nilaparvata lugens)
6.        Hama walang sangit menyerang bulir padi muda (leptocorisa oratorius (F))
7.        Ulat kupu artona menyerang kelapa
Penyakit
Penyakit adalah pengganggu tanaman yang disebabkan oleh bakteria, virus dan jamur (golongan mikroorganisme). Pertumbuhan tanaman yang terserang penyakit, terganggu aktivitas jaringan tanaman serta sel-sel yang didalamnya, menjadi tidak normal lagi.
Beberapa contoh penyakit yang menyerang tanaman budidaya yang disebabkan oleh mikroba (virus, jamur, bakteri) antara lain:
1.   Penyakit bulai, menyerang tanaman jagung yang disebabkan oleh cendawan/jamur.
2.   CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) merupakan penyakit kerusakan pembuluh tapis/floem pada tanaman jeruk yang disebabkan virus.
3.   Jamur Armelaria, menyerang akar tanaman jeruk.
4.   Penyakit hangus, disebabkan oleh jamur Ustilago maydis yang menyebabkan biji jagung menjadi kehitaman.
5.   Penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) yang menyerang jaringan pembuluh tanaman coklat.
6.   Penyakit tungro disebabkan oleh virus tungro, menyerang padi debgab gejala-gejala warna daun kuning, anakan berkurang, kerdil, seperti kurang nitrogen.
Gulma
Gulma biasanya dinamakan “tumbuhan pengganggu”, tetapi bagi gulma lebih populer disebut rumput-rumputan. Menurut para ahli, gulma terdiri atas 3 golongan utama : golongan rumput, golongan teki, golongan tumbuhan berdaun lebar. Gulma yang paling banyak mengganggu tanaman ialah golongan rumput, golongan berdaun lebar, dan yang paling sedikit golongan teki. Meskipun begitu, golongan teki ini yang banyak merusak.
Golongan rumput
Ø Echinochloa crus galli (jawan, jajagoan)
Ø Echinochloa colonum (tuton, jajagoan leutik)
Ø Panicum repens (suket balungan, jajahean)
Golongan teki  
Ø Cyperus difformis (sunduk welut, jukut papayungan)
Ø Cyperus iria (jakeng)
Golongan berdaun lebar
Ø Marsilea crenata (semanggen, semanggi)
Ø Salvinia molesta (janji, jukut cai)
Ø Sagittaria guayanensi (eceng)
Ø Limnocharis flava (genjer)
Ø Monochoria vaginalis (wewehan, eceng lembut)
  Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan gulma antara lain:
1.   Penyiangan dengan tangan dengan mencabut gulma
2.   Penyiangan dengan landak/alat mekanis/bajak kecil
3.   Mematikan rumput dengan perendaman
4.   Pengendalian dengan herbisida/bahan kimia untuk mengendalikan gulma
5.   Pengendalian dengan cara tumpang sari, misalnya dengan tanaman kacang-kacangan bisa menambah unsur nitrogen
Pengendalian dan pemberantasan hama, penyakit dan gulma tanaman
Pemberantasan gulma, hama dan penyakit tanaman dapat dilakukan secara fisis (mekanik), secara kimiawi, secara biologis, dan secara langsung.
1. Pemberantasan secara fisis yaitu memberantas gulma, hama, dan penyakit tumbuhan dengan membunuhnya satu per satu
2. Pemberantasan gulma secara kimiawi yaitu memberantas gulma, hama, dan penyakit dengan menggunakan zat kimia atau pestisida.
Macam-macam pestisida sebagai berikut :
1.   Insektisida untuk mengendalikan serangga
2.   Fungisida untuk mengendalikan fungi atau jamur
3.   Herbisida untuk mengendalikan gulma
4.   Bakterisida untuk mengendalikan bakteri
5.   Rodentisida untuk mengendalikan tikus
6.   Moluskisida untuk mengendalikan moluska
7.   Nematisida untuk mengendalikan nematoda
Selain menggunakan zat kimia yang dibuat di pabrik (pestisida kimia sintetis) , pemberantasan penggangu tanaman dapat menggunakan berbagai jenis tanaman (pestisida nabati), misalnya sebagai berikut :
1.   Bawang putih untuk membunuh ngengat, belalang, dan ulat buah
2.   Tomat untuk membunuh ulat daun
3.   Cabai untuk memberantas semut dan serangga kecil lain
4.   Empon-empon (tanaman obat yang berbentuk umbi) untuk mengusir wareng
5.   Pestisida Bt (Bioteknologi) sekarang banyak digunakan untuk pengganti pestisida tang berbahaya. Pestisida Bt mengandung toksin (zat racun yang dihasilkan oleh suatu jenis organisme) dibuat secara alami melalui bakteri Bacillus thuringiensis.  Pestisida Bt tidak berbahaya bagi manusia dan hewan, tetapi profesional membasmi hama
6.   Pemberantasan hama secara biologis yaitu memberantas gulma, hama, atau penyakit dengan musuh alaminya atau dengan melapaskan hewan jantan mandul. Hewan jantan mandul diperoleh dengan cara meradiasi hewan jantan. Setelah itu, hewan jantan dilepaskan ke alam untuk bersaing dengan hewan jantan normal dalam membuahi hewan betina.
7.   Pemberantasan hama secara ekologis yaitu memberantas gulma, hama atau penyakit dengan cara merubah lingkungan
  Pengendalian hama dan penyakit dapat berhasil baik apabila memperhatikan hal berikut :
1.   Waktu penggunaan, pestisida hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja disaat pengguanaan cara lain sudah tidak memungkinkan lagi
2.   Dosis yang tepat, pestisida digunakan dengan dosis yang tepat disesuaikan dengan kondisi setempat
3.   Luas areal yang terserang, pestisida digunakan seperlunya saja sesuai dengan luas areal yang terserang agar efek lethal pestisida pada areal pertanaman yang lain tidak terpengaruh
Jenis pestisida yang selektif, dipilih pestisida yang secara efektif hanya mematikan jenis hama atau penyakit sasaran saja dan mempunyai daya racun tinggi.

2.2 Kompetisi intra dan antar Spesies

Di alam organisme tidak hidup sendirian tetapi berdampingan dan saling berinteraksi dengan organisme yang lainnya. Begitupun yang terjadi terhadap tumbuhan, interaksi ini bisa terjadi antara tumbuhan yang sejenis ataupun tidak sejenis. Kompetisi tersebut dapat berbentuk perebutan sumber daya yang terbatas(
resource competition)atau saling menyakiti antar indifidu yang sejenis dengan kekuatan fisik (interference competition). Kompetisi yang terjadi antara individu sejenis disebut sebagai kompetisi intraspesifik sedangakan interaksi antara individu
yang tidak sejenis disebut interaksi interspesifik.Kecepatan perkecambahan biji tumbuhan dan pertumbuhan anakan (seedling)merupakan suatu faktor yang menentukan kemampuan spesies tumbuhan tertentu untuk menghadapi dan menaggulangi persaingan yang terjadi. Apabila suatu tanaman berkecambah terlebih dahulu di banding suatu tanaman yang lain maka tanaman yangtumbuh lebih dahulu dapat menyebar lebih luas sehingga mampu memperoleh cahayamatahari, air, dan unsur hara tanah lebih banyak di bandingkan dengan yang lain.Persaingan tumbuhan dalam suatu spesies mampu di liat pada jarak antartumbuhan. di mana sebenarnya persaingan yang paling keras terjadi antara tumbuhanyang sama spesiesnya, sehingga tegakan besar dari sepesies tunggal sangat jarang ditemukan di alam. Persaingan antar tumbuhan yang sejenis ini mempengaruhipertumbuhannya karena pada umumnya bersifat merugikan.Kompetisi antara tanaman tersebut terjadi karena faktor tumbuh yang terbatas.Faktor yang dikompetisikan antara lain hara, cahaya, CO2, cahaya dan ruang tumbuh.Besarnya daya kompetisi tumbuhan kompetitor tergantung pada beberapa faktor antaralain jumlah individu dan berat tanaman kompetitor, siklus hidup tanaman kompetitor,periode tanaman, dan jenis tanaman.

2.3 Konsep aliran Enegi dalam pertanian

2.3.1 Mengukur produktifitas
Produktivitas  adalah Laju produksi suatu makhluk hidup dalam ekosistem perairan. produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme penyusun eksosistem. terjadinya perbedaan produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan.
Produktivitas harus diukur selama waktu yang tepat, karena terdapat perbedaan metabolisme selama siang dan malam hari. Perbedaan metabolisme juga terjadi antar musim, oleh sebab itu pengukuran energi dalam skala tahunan. Berbagai metode dilakukan untuk mengukur produktivitas primer, setiap prosedur memiliki keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri. Salah satu metode dalam pengukuran produktivitas primer yang biasa digunakan adalah metode pemanenan.
Metode ini merupakan metode paling awal dalam mengukur produktivitas primer. Caranya adalah dengan memotong bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah, baik pada tumbuhan yang tumbuh di tanah maupun yang tumbuh di dalam air. Bagian tanaman yang dipotong selanjutnya dipanaskan sampai seluruh airnya hilang atau beratnya konstan. Materi tersebut ditimbang, dan produktivitas primer dinyatakan dalam biomassa per unit area per unit waktu, misalnya sebagai gram berat kering/m2/tahun. Metode ini menunjukan perubahan berat kering selama periode waktu tertentu.
Metode ini memang tidak cocok untuk mengukur produktivitas primer fitoplankton, karena ada beberapa kesalahan, misalnya perubahan biomassa yang terjadi tidak hanya diakibatkan oleh produktivitas tetapi juga berkurangnya fitoplankton karena pemangsaan oleh hewan-hewan pada trofik di atasnya, atau mungkin jumlah fitoplankton berubah karena gerakan air dan pengadukan. Metode ini umum dilakukan untuk lingkungan terestrial.

Produktivitas dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.     Produktivitas primer
Produktivitas primer adalah lajudimana energi pancaran atau cahaya disimpanoleh kegiatan fotosintesis  atau   kemosintesis  organisme-organisme produsen dalam bentuk  senyawa-senyawa organik yang dapat  digunakan sebagai bahan pangan.
Produktivitas primer dibagi menjadi 2macam, yaitu:
a.      Produktivitas primer bersih
Produktivitas primer bersih ialah laju penyimpanan bahan organik di dalam jaringan tumbuh  tumbuhan  selama  jangka waktu tertentu waktu pengukuran.Rumus perhitungan :Keterangan :NPP : produktivitas primer bersih atau lajupenyimpanan energi di dalam ekosistem.GPP : produktivitas primer kotor t atua laju pemasukan energi ke dalam ekosistem.R : respirasi atau  laju nergi yang digunakanbagi aktivitas ekosistem.
b.      Produktivitas primer kotor
Produktivitas primer kotor ialah lajutotal dari fotosintesis, termasuk bahan organik di dalam respirasi selama waktupengukuran tertentu 
2.      Produktivitas Sekunder.
Kecepatan penyimpangan energy potensial pada tingkat trofik konsumen dan pengurai, disebut produktivitas sekunder. Dengan sendirinya energi ini semakin kecil pada tingkat trofik berikutnya. Arus energitotal pada tingkat  heterotrofik yang analog  dengan produktivitas kotor pada tingkatautotrofik, sebaiknya dinamakan asimilasi bukan kata  produksi. Cara paling sederhana mengukur  produktivitas  sekunder  adalah dengan memperkirakan pertambahan bobot atau ukuran hewan  atau tumbuhan selama yang kawaktu tertentu. Energi yang terdapat pada makanan tidak digunakan 100%. energi yang ditahan setelah semua kehilangan pernafasan,ekskresi dan degestian biomassa Tumbuhan.

2.3.2 Menaikan Produksi Tanaman
Meningkatkan produktivitas merupakan pekerjaan gampang-gampang susah. Gampang karena sebetulnya kita mengetahui yang mempengaruhi hasil produksi. Susah, karena kita tidak bisa mengendalikan semua faktor-faktor tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi hasil pertanian diantaranya :
1. Benih
Benih adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produksi pertanian. Faktor ini termasuk yang dapat dikendalikan. Bila kita ingin yang benih yang baik, kita tinggal membeli di toko dan pilih yang sudah teruji baik. Meskipun tidak 100% baik, namun sejauh ini kita masih dapat mempercayai benih yang dikeluarkan oleh BUMN kita dibidang perbenihan.karena benih yang di hasil kan sudah merupakan bibit unggulan.
2. Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pertanian. Faktor ini termasuk faktor yang dapat dikendalikan, namun demikian adakalanya pengendalian ini tidak sepenuhnya berhasil. Pengendalian ini terkadang malah menyebabkan kondisi tanah menjadi rusak.

3. Iklim (termasuk kecukupan air)
Iklim adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pertanian yang tidak dapat dikendalikan. Namun demikian kita masih dapat mengendalikan (walaupun tidak seluruhnya) misal dengan membuat drainase, dengan mengadakan hujan buatan dan lain-lain.
4. Pupuk yang diberikan
Pupuk adalah faktor yang mempengaruhi hasil pertanian, yang paling bisa kita kendalikan. Bila ingin tinggi hasilnya, berikan saja pupuk yang baik secara optimum.
5. Kondisi tanah
Kondisi tanah adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil pertanian, dan kita dapat mengendalikan, walaupun tidak semuanya. Kondisi tanah ini sering kurang dipahami oleh para petani dan para penyuluh pertanian, padahal ini termasuk faktor yang sangat penting, karena berkaitan dengan faktor pemberian pupuk.
Karena kondisi tanah sekarang ini kurang kondusif, yaitu karena terlalu asam (akibat pemberian pupuk kimia secara berlebih dan terus menerus), berkurangnya jasad renik dan mikroba tanah.
Sudah umum diketahui bahwa pemberian pupuk kimia secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan struktur tanah dan matinya beberapa mikroba dan jasad renik dalam tanah. Salah satu fungsi jasad renik adalah mendekomposisikan (menguraikan) unsur hara sehingga mudah dikonsumsi tanaman. Beberapa mikroba (seperti rhizobium) bahkan dapat menangkap Nitrogen (N) bebas dari udara untuk dikonsumsi tanaman. Padahal kurang lebih 70% udara kita terdiri dari Nitrogen. Beberapa lainnya (seperti Michoriza), mampu menangkap P tidak tersedia untuk tanaman menjadi tersedia. Jika jasad renik dan mikroba tanaman sangat kurang jumlahnya dalam tanah, maka dapat diprediksi bahwa konsumsi pupuk akan sangat tinggi dengan hasil yang sangat kurang.
2.3.3 Penggunaan Limbah
Limbah pertanian adalah bagian tanaman pertanian diatas tanah atau bagian pucuk, batang yang tersisa setelah dipanen atau diambil hasil utamanya. Berdasarkan artinya pengertian limbah pertanian dapat diartikan sebagai bahan yang dibuang di sektor
pertanian. Beberapa contoh limbah pertanian diantara lain adalah sabut dan tempurung kelapa,jerami dan dedak padi, dan sebagainya.Limbah pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yaitu limbah pra panen dan saat panen serta limbah pasca panen. Sedangkan limbah pasca panen itu juga terbagi menjadi limbah sebelum diolah dan limbah setelah diolah atau sering dikenal dengan limbah industri pertanian.
Sebagai contoh limbah pertanian dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Namun pemanfaatan ini masih tergolong rendah. Contoh lain adalah limbah pertanian jerami padi/jagung/ ubi jalar, pada dasarnya limbah ini dapat digunakan sebagai pupuk organik, akan tetapi petani lebih sering membakarnya setelah panen. Sangat disayangkan bukan. Dewasa ini masih sangat minim pemanfaatan limbah pertanian, hal ini terbukti dari sebuah penelitian hanya sekitar 30% peternak di Indonesia yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan dan juga pupuk.
2.3.4 Penangkapan Energi
Pertanian pada dasamya berhubungan dengan perubahan energi matahari ke dalam bentuk bahan pangan maupun serat.Energi matahari merupakan sumber utama hubungannnya dengan pertumbuhan tanaman, sembilan puluh persen bahan kering tanaman pertanian berasal dari perubahan carbon melalui proses fotosintesis yang tergantung cahaya.
Belakangan ini banyak ahli biologi yang mencoba menghitung produktivitas tanaman dengan memperhatikan penangkapan energi matahari dan pengubahannya ke energi kimia melalui proses fotosintesis.
Bahan dan hasil akhir proses fotosintesis ditulis sebagai berikut:
                   (energi cahaya 673.000 kalori + klorofil)
6 CO2 + 12 H2O                                            C6H12O6 + 6 O2 + 6 H2O
 Energi cahaya matahari yang digunakan berasal dari panjang gelombang   0,4 - 0,7 mikron.Efisiensi fotosintesis dipengaruhi oleh laju fotosintesis.
Laju fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya cahaya sampai batas-batas tertentu, walaupun laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya, tetapi peningkatannya lambat sehingga efisiensi penangkapan cahaya menurun.  Apabila intensitas cahaya tinggi secara relatif lebih banyak cahaya tegak yang dipantulkan oleh daun-daun. Masuknya cahaya ke tajuk tanaman dipengaruhi oleh sudut datangnya sinar dan susunan daun, tajuk yang ideal untuk distribusi cahaya mempunyai susunan daun merata, pada bagian atas tajuk mempunyai daun-daun lebih tegak dan lebih kecil sedang daun-daun bawah tersusun secara horizontal.
Konsep aliran energi dalam pertanian
Dengan menganggap tanaman sebagai alat penangkap, perubah dan penyimpan energi, maka timbul usaha menaikkan efisiensi dan produktivitas tanaman.Didaerah yang padat tanaman, beberapa faktor lingkungan segera menjadi berkurang, cahaya, kelembaban tanah dan unsur hara. Hal ini merupakan faktor pembatas dalam pertanian, pemupukan merupakan salah satu cara yang baik untuk meningkatkan produksi.Efisiensi pertanian dapat diperoleh dengan pcrbaikan tanaman melalui pemuliaan tanaman
Salah satu usaha untuk memperluas alat penangkap energi dengan memperpanjang musim tanam misalnya menggunakan rumah kaca untuk tanaman yang memungkinkan input teknologi dan modal besar seperti tanaman hortikultura di daerah iklim sedang.Usaha mempengaruhi laju fotosintesis dengan cara pertukaran CO2 antara dedaunan dan atmosfer di sekitarnya. Di wilayah yang sebelumnya angin kurang diperhatikan, hasil jagung dapat ditingkatkan bila barisan tanaman diarahkan tegak lurus arah angin, sehingga pucuk tanaman tertiup angin dan terjadi perputaran dan pencampuran udara.

2.3.5 Pangan dan Kebutuhan Manusia
Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah fungsi primer (primary function) yaitu memiliki kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh setiap manusia agar Membentuk energi yang diperlukan oleh tubuh.
Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Karena tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.
2.3.6 Gizi
Pengaruh gizi terhadap perkembangan otak dan perilaku, terhadapkemampuan bekerja dan produktivitas serta daya tahan terhadap penyakit infeksi. Di samping itu ditemukan pula pengaruh stress, faktor lingkungan
seperti polusi dan obat-obatan terhadap status gizi, serta pengakuan terhadap faktor-faktor gizi yang berperan dalam pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, hati, dan kanker.
Bila dikelompokan ada 3 fungsi zat gizi dalam tubuh :
1. Memberi energi
Zat gizi yang tergolong ini adalah karbohidrat, lemak dan protein.Ketiga zat gizi itu terdapat dalam jumlah paling banyak dalam bahan pangan.Dalam fungsi sebagai zat pemberi energi, ketiga zat gizi tersebut dinamakan zat pembakar.
2. Pertumbuhan dan pemelihara jaringan tubuh
Protein, mineral, dan air adalah bagian dari jaringan tubuh. Oleh karena itu, diperlukan untuk membentuk sel-sel baru, memelihara, dan
mengganti sel-sel yang rusak. Dalam fungsi ini ketiga zat gizi tersebut
dinamakan zat pembangun.
3. Mengatur metabolisme tubuh
Protein, mineral, air dan vitamin diperlukan untuk mengatur metabolisme tubuh. Protein mengatur keseimbangan air dalam sel, bertindak sebagai buffer dalam upaya memelihara netralitas tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Donald, C. M. 1963. Competition among crops and pasture plants. Agronomy 2: 17-20.

Fuller, J.H. and L.B. Caronthus. 1964. The Plant World 4th ed. Holt Richard Winston Inc,    USA.

Hairah, K., M. Van Noordwijk dan D. Suprayoga. 2006. Interaksi Antara Pohon Tanah Tanaman Semusim. <http://www.worldagroforestrycenter.org>. Diakses pada tanggal 28 April 2010.

Odum,E.P. 1983. Basic Ecology. CBS Collage Publising, USA.

Purwanti, Setyastuti.  2004. Kajian suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan kedelai kuning. Ilmu  Pertanian 11: 22-31.

Sumardi, kasli, Musliar Kasim, Auzar Syarif dan Nazres Akhir. 2007. Respon padi sawah pada teknik budidaya secara aerobic dan pemberian bahan organic. Jurnal Akta Agrosia 10: 65-71.

Walter, H. 1971. Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation Oliver and Boyd. E

Tidak ada komentar:

Posting Komentar