-->
SEJARAH SISTEM PERTANIAN
I.
PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai
petani. Ini didukung dengan kondisi tanah serta iklim yang berlaku di
Indonesia.
Belakangan ini mulai muncul petani-petani modern yang lebih kreatif
dalam memanfaatkan peluang yang ada. Mulai dari menciptakan varian-varian
tanaman baru sampai memaksimalkan kondisi lahan untuk meningkatkan hasil panennya.
Sistem pertanian merupakan pengelolaan komoditas tanaman untuk
memperoleh hasil yang diinginkan yaitu berupa bahan pangan, keuntungan
financial, kepuasan batin, atau
gabungan dari ketiganya.
Pada bab ini akan dibahas tentang perkembangan pertanian, sistem bertanam
daerah tropika, sistem pertanian di indonesia dan klasifikasi sistem pertanian.
Mengamati perkembangan pertanian
saat ini tentu saja tidak bisa melepaskan dari asal mula pertanian itu
ada. Saat ini pertanian dapat lihat dan
dirasakan manfaatnya karena tidak
terlepas dari rentetan cerita panjang atau sejarah pertanian masa lampau.
Sistem pertanian didaerah tropika
seperti Indonesia, berbeda dengan daerah subtropis dan daerah beriklim sedang.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi iklim, jenis tanaman dan keadaan
sosial ekonomi petaninya.
Di Indonesia ditemukan berbagai sistem pertanian yang berbeda baik tingkat
efisiensi nteknologinya maupun tanaman yang diusahankan seperti sistem ladang,
sistem tegal, sistem sawah, dan sistem kebun.
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu
sistem pertanian yang bersifat mengumpulkan hasil tanaman, sistem pertanian
yang bersifat budidaya tanaman, dan sistem pertanian untuk ternak dan padang
penggembalaan.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Pertanian
Para ahli prasejarah umumnya
bersepakat bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang
lalu dari kebudayaan di daerah “bulan sabit yang subur” di Timur
Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai
Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga
daerah Suriah
dan Yordania
sekarang.
Bukti-bukti yang pertama kali
dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia,
terutama gandum
kuna seperti emmer)
dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu,
2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen,
di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya
pertanian.
Pertanian telah dikenal oleh
masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum),
perunggu dan
megalitikum. Pertanian mengubah
bentuk-bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap dewa-dewa perburuan
menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan
pangan.
Teknik budidaya tanaman lalu meluas
ke barat (Eropa
dan Afrika
Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur
(hingga Asia
Timur dan Asia Tenggara).
Bukti-bukti di Tiongkok
menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun
sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak
pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM.
Setiap tanaman yang ada sekarang
telah dikembangkan pada zaman pra sejarah. Hal ini tercapai dengan dua cara
yang berbeda :
1.
Penjinakan (Domestication), yaitu dengan membudidayakan atau mengelola species
liar.
2.
Seleksi,
yaitu dengan penangkaran yang berbeda-beda dari species tersebut.
Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan
menjadi 4 golongan yaitu :
1. Pemburu dan pengumpul
Manusia pertama
yang menempati daerah hutan tropika sekitar laut cina selatan adalah Alitik
atau Prapaleolitik. Mereka adalah kelompok pengumpul makanan dengan cara
mengumpulkan tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, berburu, dan menangkap ikan.
Manusia pengumpul
makanan dan pemburu di Asia Tenggara adalah dalam arti mereka tidak menetap
lama pada suatau tempat. Tempat hidup mereka umumya, mereka makan dedaunan,
bunga, biji, buah, kulit, umbi, dan akar tanaman. Pengetahuan untuk
menghilangkan racun dari bahan makanan serta cara mengawetkan juga banyak
dimiliki oleh para pengembara tersebut.
2. Pertanian primitif
Berladang merupakan suatu
tahapan dalam evolusi budaya manusia, dari berburu dan meramu ke budaya
bercocok tanam dengan sifat menyebarkan penduduk (berpindah-pindah). Berladang merupakan suatu
sistem/pola pertanian di mana hutan alam diubah menjadi hutan yang dapat
menghasilkan kebutuhan pangan bagi manusia secara direncanakan yang berlangsung
secara perputaran. Dilihat dari sehingga ekologi, ciri yang paling positif dari
berladang ialah bahwa
sistem pertanian itu lebih berintegrasi ke dalam struktur umum dari ekosistem
alami yang sudah ada sebelum sistem pertanian itu direncanakan. Berladang
dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuh-nya tanaman.
3. Pertanian tradisional
Pada pertanian
tradisional, orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman
sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap
pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan,
penyiangan, dan melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang
diturunkan oleh nenek moyangnya.
4. Pertanian progresif (moderrn)
Saat kini pertanian yang dikenal sudah sangat maju dan
berkembang dengan pesat, dari semua aspek pertanian dikembangkan berbagai macam
terobosan-terobosan baru dan teknologi-teknologi terkini yang semakin
memudahkan bagi para petani dalam mengelola pertanian dan meningkatkan hasil
produk-produk pertanian.
Dalam pertanian modern, manusia menggunakan akal dan
pikirannya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan hewan. Usaha pertanian merupakan usaha yang efisien,
masalah-masalah pertanian dihadapi secara ilmiah melalui penelitian-penelitian,
fasilitas-fasilitas irigasi dan drainase dibangun dan dimanfaatkan untuk
mendapatkan hasil yang maksimum, pemuliaan tanaman dilakukan untuk mendapatkan
varietas unggul yang berproduksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan
terhadap serangan hama dan penyakit serta masak lebih cepat.
2.2. Sistem Bertanam Daerah Tropika
Daerah tropis
kering dicirikan oleh adanya perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan
kemarau. Di daerah semacam ini dibutuhkan sistem pertanaman yang menghasilkan
pangan yang cukup dan bergizi, meskipun terjadi variasi curah hujan yang sangat
tinggi dari tahun ke tahun dan musim kemarau yang panjang. Hasil pertanian yang
tinggi tergantung pada pemanfaatan curah hujan selama musim hujan dan air yang
tersimpan di dalam tanah selama musim kering. Karena itu tanaman yang
mengkonsumsi air secara efisien serta menghasilkan produksi tinggi dan bernilai
gizi tinggi yang seharusnya ditanam.
Krisis ekonomi
dan perubahan iklim di Asia dan Pasifik telah membuktikan kelemahan-kelemahan
tersebut, dan dampaknya pada kegagalan panen yang pada akhirnya mempengaruhi
perekonomian petani bahkan perekonomian nasional. Curah hujan yang lebih rendah
dari yang diperkirakan berpengaruh terhadap penyiapan lahan dan gangguan
pertumbuhan tanaman. Hal ini menyebabkan penyempitan luas tanam dan produksi
rendah. Krisis ekonomi berdampak pada harga dan ketersediaan sarana produksi
pertanian.
Penerapan sistem
tumpang sari pada bedeng permanen mengurangi ketergantungan petani terhadap
berbagai masalah seperti pendanaan dan iklim serta memperbaiki jumlah dan
kualitas gizi pangan yang dihasilkan.
A. Sistem Perladangan Berpindah
Pada awalnya, sistem perladangan berpindah terjadi saat
pertama kali manusia mengenal bercocok tanam. Dengan tingkat pengetahuan yang sangat rendah, manusia pada waktu
itu belum mengenal pengelolaan lahan dan teknologi yang digunakan, sehingga
sistem perladangan ini disebut sistem asal tanam.
Ladang
Berpindah adalah kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara berpindah-pindah
tempat. Ladang dibuat dengan cara membuka hutan atau semak belukar. Pohon atau
semak yang telah ditebang/dibabat setelah kering kemudian dibakar. Setelah
hujan tiba, ladang kemudian ditanami dan ditunggu sampai panen tiba. Setelah
ditanami 3 – 4 kali, lahan kemudian ditinggalkan karena sudah tidak subur lagi.
Kejadian ini
berlangsung terus menerus, setelah jangka waktu 10 - 20 tahun, para
petani ladang kembali lagi ke ladang yang pertama kali mereka buka.
Akibat dari sistem
perladangan berpindah ini yaitu menurunnya kesuburan lahan dengan cepat karena
belum mengenal pemupukan. Ketika lahan sudah tidak produktif lagi, mereka
pindah lalu membuka hutan baru atau kembali mengerjakan lahan yang sudah lama
ditinggal dan sudah pulih kesuburan tanahnya. Namun dinegara lain, seperti Afrika, sistem pertanian berpindah ini bukan
lagi beronotasi negatif. Dengan teknologi yang terus diperbaiki, sistem ini
merupakan alternatif yang cocok untuk dikembangkan.
Prinsip Utama dalam sistem
perladangan berpindah adalah bahwa selama periode bera, nutrisi yang diambil
oleh tumbuhan/vegetasi yang ada akan dikembalikan ke permukaan tanah berupa
sisa tanaman (sersah). Bahan organik yang tertimbun di permukaan tanah akan
tersedia (melalui proses dekomposisi) bagi tanaman berikutnya setelah vegetasi
tersebut ditebang atau dibakar.
Di Indonesia,
sistem berladangan berpindah
masih mendatangkan masalah besar karena di khawatirkan dapat mengganggu fungsi
paru-paru lingkungan (karena hutan ditebang) dan keanekaragaman hayati serta
emisi CO2 yang terkait dengan pemanasan global. Selain itu, kegiatan
tersebut sering menyebabkan bahaya erosi yang akan merusak lahan dan
lingkungan.
B. Sistem Tadah Hujan Semi Intensif dan
Intensif
Sistem bertanam
adalah pola pola tanam yang digunakan petani dan interaksinya dengan
sumber-sumber alam dan teknologi yang tersedia. Sedangkan pola tanam adalah
penyusunan cara dan saat tanam dari jenis-jenis tanaman yang akan ditanam
berikut waktu-waktu kosong (tidak ada tanaman) pada sebidang lahan tertentu.
Pola tanam ini mencakup beberapa bentuk/ macam sebagai berikut:
1.
Multiple
Cropping (Sistem Tanam Ganda)
Adalah sistem penanaman lebi dari
satu jenis tanaman pada sebidang tanah yang sama dalam satu tahun. Yang
termasuk dalam sistem tanam ganda ini adalah: Intercropping, Mixed Cropping, dan Relay Cropping.
Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan
sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input
luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya
alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini :
a) Mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah
b) Memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk meningkatkan
pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan
tanaman akan lebih tersedia
c) Menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah
d) Mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula
e) Mampu menghemat tenaga kerja
f) Menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami
secara terus menerus
g) Pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali
h) Mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman
i) Memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organik.
a.
Intercropping
(Sistem Tumpang Sari)
Adalah sistem penanaman secara
serentak dua tau lebih jenis tanaman dalam barisan yang berselang-seling pada
sebidang tanah yang sama. Contohnya : tumpangsari antara tanaman ubi kayu dan jagung atau kacang tanah.
Sistem tumpangsari memberikan
beberapa manfaat bagi petani yakni antara lain mengurangi biaya pengolahan
lahan, mudah dalam menanggulangi hama, memudahkan proses pembersihan atau
penyiangan dan yang terakhir adalah meningkatkan hasil produksi atau panen.
b.
Mixed
Cropping (Sistem Tanam Campuran)
Adalah sistem
penanaman dua atau lebih jenis tanaman secara serentak dan bercampur pada
sebidang lahan yang sama. Sistem ini
jarang diterapkan karena sulit dalam proses pemeliharaannya. Sistem tanam ini
lebih banayak diterapkan dalam usaha pengendalian hama dan penyakit.
c.
Relay
Cropping (Sistem Tanam Sisipan)
Adalah sistem
penanaman suatu jenis tanaman kedalam pertanaman yang ada sebelum tanaman yang
ada tersebut dipanen. Sistem penanaman ini dalam istilah lain seperti sistem
tumpang sari dimana tidak semua jenis tanaman ditanam pada waktu yang sama.
Contoh khas dari sistem penanaman ini di Indonesia yaitu : Padi gogo dan jagung
ditanam bersama-sama kemudian ubi kayu ditanam sebagai tanaman sela satu bulan
atau lebih sesudahnya.
2. Seguantial Cropping (Pergiliran Tanaman)
Adalah sistem penanaman lebih dari
satu jenis tanaman pada sebidang lahan dalam satu tahun, dimana tanaman kedua
ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian pula bila ada tanaman ketiga, tanaman ini ditanam setelah tanaman kedua
dipanen.
3.
Maximum
Cropping (Pergiliran Tanaman)
Adalah pengusahaan lahan untuk
mendapatkan hasil panen yang setinggi-tingginya tanpa memperhatikan aspek
ekonomisnya (biaya, pendapatan atau keuntungan) dan apalagi aspek kelestarian
produksinya dalam jangka panjang.
4.
Sole
Cropping / Monoculture (Sistem Tanam Tunggal)
Adalah sistem penanaman satu jenis
tanaman pada lahan dan periode waktu yang sama.
2.3.
Sistem
Pertanian di Indonesia
1.
Sistem Ladang
Merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem
peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan
tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan
humus yang ada, yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya
terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak
terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat,
jagung, atau umbi-umbian.
2.
Sistem Tegal
Pekarangan
berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup.
Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walupun
demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal pada umumnya jarang
menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan tenaga hewan.
Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan kekeringan
dan pohon-pohonan.
3.
Sistem Sawah
Merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan
tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi,
sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem
pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi
besar untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah,
pertanian tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.
4.
Sistem Perkebunan
Baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu
milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena
kebutuhan tanaman ekspor. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi,
teh dan coklat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang sistem perkebunan
berkembang dengan manajemen yang industri pertanian.
2.4.
Klasifikasi
Sistem Pertanian
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok (Ruthenberg, 1980):
1. Sistem pertanian yang bersifat
pengumpulan hasil tanaman
2. Sistem pertanian yang bersifat
budidaya tanaman
3. Sistem pertanian untuk makanan ternak dan
padang penggembalaan.
1.
Sistem Pertanian dengan Pengumpulan Hasil Tanaman
Sistem ini
adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tanaman dari
tanaman-tanaman yang tidak dibudidayakan, sistem ini biasanya dijalankan
bersamaan dengan sistem berburu binatang dan tangkapan ikan. Jarang sistem
pengumpulan hasil tanaman terdapat sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah
seperti di Irian Jaya sistem ini masih terdapat.
2.
Sistem Pertanian dengan Budidaya Tanaman
Sistem ini
merupakan sistem pertanian yang paling utama. Di daerah tropik terdapat banyak
sistem budidaya tanaman, dan klasifikasinya dapat dilakukan berdasarkan
beberapa ciri-ciri spesifik sebagai berikut:
§
Berdasarkan Tipe Rotasinya
Berdasarkan tipe rotasinya dapat diklasifikasikan 4 macam sistem budidaya
tanaman yaitu : Sistem dengan rotasi bera secara alami; sistem dengan rotasi
dengan makanan ternak (ley system); sistem dengan rotasi tegalan (field
system); sistem dengan rotasi tanaman tahunan.
a)
Sistem
pertanian dengan rotasi bera secara alami
Sistem ini adalah sistem dimana budidaya tanaman,
bergantian dengan bera (bera = uncultivated fallow).
Bentuk-bentuk vegetasi yang terdapat pada bera secara alami dapat berupa :
- Pohon-pohon yang dominan (forest fallow)
- Semak-semak yang dominan (Bush fallow)
- Kayu tahan api yang dominan dan rumput (savanna fallow)
- Rumput yang dominan (Grass fallow)
b)
Sistem
pertanian dengan rotasi dengan makanan ternak
Ini adalah sistem dimana lahan ditanami
tanaman-tanaman semusim untuk beberapa tahun, kemudian dibiarkan rumput tumbuh,
atau lahan ditanami rumput dan atau leguminosa untuk padang penggembalaan. Ley
system yang diatur yaitu tanaman semusim/pangan, dirotasikan dengan tanaman
rumput dan atau leguminosa, yang dipotong untuk ternak. Ley system secara alami
yaitu setelah tanaman semusim, dibiarkan rumput tumbuh secara alami untuk
padang penggembalaan ternak.
c)
Sistem
pertanian dengan rotasi tegalan
Sistem dimana tanaman semusim yang satu ditanam
setelah tanaman semusim yang lain pada lahan kering.
d)
Sistem
pertanian dengan rotasi tanaman tahunan
Termasuk tanaman-tanaman tahunan adalah tebu, teh,
kopi, kelapa, karet dan sebagainya. Tanaman-tanaman tahunan seperti itu dapat
ditanam bergantian dengan bera, tanaman semusim, padang penggembalaan ataupun
tanaman-tanaman tahunan yang lain.
·
Berdasarkan Intensitas Rotasinya
Untuk klasifikasi sistem pertanian berdasarkan kriteria intensitas
rotasi, digunakan pengertian R (intensitas
Rotasi) dimana :
R = Jumlah tahun lahan ditanami x 100 %
Lama siklus (tahun)
Siklus = jumlah tahun lahan
ditanami + tahun bera (intensitas rotasi ini memakai alat ukuran waktu). Jadi
misalkan dalam siklus 10 tahun, 2 tahun lahan ditanami, dan 8 tahun diberakan,
maka R = 2/10 x 100 = 20 %. Atau misalkan dalam siklus 20 tahun, 2 tahun lahan
ditanami, 18 tahun diberakan, maka R = 2/20 x 100 = 10 %
Ø Bila R < 33
%, pertanian tersebut tergolong sistem perladangan (shifting cultivation).
Ø Bila R adalah
kurang 60 % tetapi lebih dari 33 % ( 33 < R < 66)
sistem pertanian digolongkan sistem bera.
Ø Bila R > 66
%, sistem pertanian ini digolongkan sistem pertanian permanen.
Bila lahan bera 7 tahun, ditanami
7 tahun, maka R = 7/14 x 100 = 50 %, ini tergolong sistem bera.
Istilah lain yang serupa dengan
intensitas rotasi (rotation intencity) adalah intensitas penanaman (cropping
intencity). Istilah ini memakai varian (alat ukur) luasan. Intensitas penanaman
atau cropping intencity index dapat dihitung berdasarkan :
Bagian dari areal ditanami (ha)
dibandingkan terhadap areal pertanian
tersedia (ha), dikalikan 100
persen, atau dengan rumus :
Cropping Intencity Index = 1
= Luas area yang di tanam (ha) X 100%
/ tahun
Luas area tersedia(ha)
Jadi misalkan luas areal pertanian tersedia = 100 ha,
dan bila dari luas tersebut tiap tahun ditanami satu kali seluas 40 ha, maka
I = 40
/100 X 100 = 40 %.
Makin besar I, makin besar persentase areal lahan ditanami (ha) dibanding
dengan luas areal total (ha) tiap tahunnya. Pada pertanian permanen, indeks
penanaman (I) lebih besar dari 66 % (sebagian besar atau seluruh lahan ditanami
lebih dari satu kali dengan sistem pola tanam ganda).
§
Berdasarkan
Suplai Air
Pertama-tama sistem pertanian
tersebut digolongkan menjadi sistem pertanian dengan, atau tanpa pengairan.
Pertanian dengan sistem pengairan adalah sistem pertanian dimana air dapat
diatur masuk ke dalam lapangan sehingga tingkat kelembaban lebih tinggi
dibanding bila tanpa irigasi; umum disebut pula dengan nama pertanian lahan
kering (dry farming). Pertanian kering umumnya terdapat pada daerah semi arid,
tetapi di Indonesia dimana terdapat iklim humid – semi humid, juga banyak
terdapat pertanian lahan kering.
Nama sistem pertanian yang lebih
tepat berdasarkan klasifikasi pemberian air adalah sistem pertanian
berpengairan (irrigated farming) dan sistem pertanian tadah hujan (rainfed
farming).
Klasifikasi lain yang juga didapat berdasarkan
suplai air adalah lahan sawah (lahan basah), yaitu tanah yang lembab dan dibuat
berteras serta digenangi air dan ditanami padi sawah, meskipun lahan tersebut
tidak selalu didukung dengan irigasi (misal sawah tadah hujan). Sebagai
kebalikan dari sistem pertanian lahan sawah (lowland) adalah pertanian lahan
darat (upland farming) atau pertanian lahan kering, yaitu sistem
pertanian dimana lahannya tidak digenangi air dan dalam keadaan kering (umumnya
di bawah kapasitas lapang).
§
Berdasarkan
Pola Tanam
Klasifikasi sistem pertanian berdasarkan pola tanam
merupakan klasifikasi sistem pertanian yang terpenting di daerah tropis, yang
biasanya didukung dengan penggunaan ternak. Petani-petani yang penghasilannya
(gross returnnya = hasil yang diperoleh dan dipasarkan ditambah yang dikonsumsi
keluarga, dan yang untuk persediaan) serupa, dapat dikelompokkan berdasarkan
pola tanam yang dianut, misalnya : padi – palawija, kopi – pisang dan
sebagainya. Dan dalam pertanian permanen yang intensif dapat dikenal berbagai
bentuk pola tanam seperti : pola tanam campuran, tumpangsari, dan sebagainya.
§
Berdasarkan
alat-alat Pertanian yang Digunakan
Berdasarkan hal tersebut secara
garis besar dapat digolongkan sistem budidaya pertanian sebagai berikut:
1. Sistem
pertanian pra-teknis yaitu sistem pertanian dimana hanya digunakan alat-alat
sangat sederhana atau tanpa alat-alat sama sekali, seperti pertanian bakar
(pertanian perladangan yang tanpa persiapan apa-apa, kecuali dibakar untuk
mendapatkan abu), perladangan tebang-bakar, sistem pelepasan ternak untuk
menginjak-injak lahan sebagai persiapan tanah atau pengolahan tanah (di pulau
Sumba, Sumbawa dan sebagainya) sistem pertanian dengan tongkat tanam, dan
sebagainya.
2. sistem
pertanian dengan cangkul dan sekop.
3. Sistem
pertanian dengan bajak-garu yang ditarik hewan
4. Sistem
pertanian dengan bajak-garu yang ditarik traktor
§
Berdasarkan
Tingkat Komersialisasi
Dalam hal ini terdapat sistem yang berbeda, dan sesuai dengan hasil kotor
(gross return) yang dijual terdapat penggolongan sebagai berikut:
1.
Pertanian subsisten : yaitu dimana hampir tidak ada penjualan ( < 20 %
dari produksi pertaniannya dijual).
2.
Setengah komersial = bila +/- 50 % dari nilai hasil pertaniannya dikonsumsi
oleh keluarga, dan selebihnya dipasarkan.
3.
Pertanian komersial, yaitu bila lebih dari 50 % dari hasil pertaniannya
dipasarkan.
§
Berdasarkan Tingkat Teknologi dan Pengelolaan terutama
untuk tanaman perkebunan, dapat dibedakan, perkebunan rakyat, perkebunan
besar, dan PIR.
Sistem Pertanian untuk Padang
Penggembalaan dan Peternakan
karena rendahnya potensi lahan padang penggembalaan di daerah tropik
umumnya, maka terdapat penggembalaan berpindah-pindah (nomadis – semi nomadis),
yang kadang-kadang disertai dengan peningkatan padang penggembalaan dalam
sistem Ranch. Nisban ternak/luas umumnya rendah yaitu 2 -3 ternak besar/ha.
Pertanian ternak atau peternakan umumnya diklasifikasikan berdasarkan ketetapan
tinggalnya (stationariness) dari peternak maupun ternaknya, sebagai berikut:
1.
Total nomadis = Tidak ada tempat tinggal permanen bagi peternaknya dan, tidak ada sistem budidaya tanaman makanan ternak teratur, sehingga selalu
bergerak.
2.
Semi nomadis = Peternak mempunyai tempat tinggal permanen, dan di
sekitarnya ada budidaya makanan ternak sebagai tambahan, tetapi untuk waktu
lamanya, ternak dan penggembalaannya bergerak pada daerah-daerah yang berbeda.
3.
Transhuman = Peternak mempunyai tempat tinggal permanent, tetapi ternaknya
dengan bantuan penggembala, mengembara pada daerah penggembalaan yang
berpindah-pindah dan jauh letaknya.
4.
Partial Nomadis = Peternak tinggal terus menerus pada tempat pemukiman yang
tetap, dan penggembalaannya hanya pada daerah sekitarnya.
5.
Peternakan menetap = Ternaknya sepanjang tahun berada pada lahan atau
desanya sendiri.
III.
KESIMPULAN
Perkembangan pertanian tidak bisa dilepaskan dari rentetan cerita panjang atau sejarah pertanian masa lampau. Bukti-bukti
yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia,
terutama gandum
kuna seperti emmer)
dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu,
2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen,
di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya
pertanian.
Sistem bertanam daerah tropika dicirikan oleh
adanya perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan kemarau. Sistem bertanam
daerah tropika terdiri dari sistem
perladangan berpindah dan sistem
tadah hujan semi intensif dan intensif.
Sistem bertanam adalah pola pola tanam
yang digunakan petani dan
interaksinya dengan sumber-sumber alam dan teknologi yang tersedia. Sedangkan
pola tanam adalah penyusunan cara dan saat tanam dari jenis-jenis tanaman yang
akan ditanam berikut waktu-waktu kosong (tidak ada tanaman) pada sebidang lahan
tertentu. Pola tanam ini mencakup beberapa bentuk/ macam sebagai berikut: multiple cropping (sistem tanam
ganda), sole
cropping / monoculture (sistem tanam tunggal), maximum cropping (pergiliran
tanaman), seguantial
cropping (pergiliran tanaman).
Sistem pertanian tropik dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok (Ruthenberg, 1980):
1. Sistem pertanian yang bersifat pengumpulan hasil tanaman
2. Sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman
3. Sistem pertanian untuk makanan
ternak dan padang penggembalaan.
DAFTAR PUSTAKA
Andra. 2011. Diunduh dari http://lombokagriculture.wordpress.com/2011/01/23/sejarah-
munculnya-pertanian-di-dunia/ (diakses 25 September 2012)
Ardian. 2012.
Sistem pertanian. Diunduh dari
http://usb-verhaal.blogspot.com/2012/04/sistem-pertanian.html
(diakses 24 September 2012)
Darius. 2011. Sistem
penanaman ganda (Multiple cropping).
Diunduh dari
http://berusahatani.blogspot.com/2011/01/sistem-penanaman-ganda-multiple.html
(diakses 24 September 2012)
Jarwani. 2009.
Diunduh dari http://forjusticeandpeace.wordpress.com/2009/08/27/sistem-tanam-tumpangsari/ (diakses 25 September 2012)
Tim Penulis Dasar-dasar Agronomi. 2010. Diktat
Dasar-dasar Agronomi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian.
Universitas Jambi.
SISTEM PERTANIAN
I.
PENDAHULUAN
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia
untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model
irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air
melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai
atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke
lahanc pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa
air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi
dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.
Di era 80-an jutaan
hektar lahan rawa lebak dibuka untuk padi sawah. Saluran irigasi dan drainase
permanen lantas dibangun. Sayang, alih-alih dapat mengatur pasokan air sesuai
kebutuhan padi, banyak saluran beton justeru merusak tata air makro dan mikro.
Lahan kering saat musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Teknologi drainase
bersekat mengatasi kelemahan itu.
Di masa itu banyak saluran irigasi
dan drainase mengadopsi sistem irigasi di lahan kering. Contohnya pintu
drainase menggunakan pintu sorong sistem ulir atau sistem pasak. Pada model itu
air keluar melalui celah yang terbentuk di bagian dasar saluran dengan batas
pintu terbawah. Sangat optimal untuk pengairan di lahan kering yang membutuhkan
sumber air dari luar lahan (daerah hulu dan saluran).
Pada zaman sekarang ini,kita tidak
perlu mengalami kesulitan lagi untuk menyiram tanaman karena sistem irigasi
dapat kita terapkan pada lahan kering.Seiring dengan perkembangan zaman,manusia
telah terbantu untuk mengoptimalisasi kekeringan yang terjadi.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Sistem
Irigasi
2.1.1 Sistem
Irigasi Lahan Kering
Sistem irigasi merupakan
salah satu pendukung ketahanan pangan. Sistem irigasi pada lahan
kering dapat diatasi dengan irigasi
tetes.Selain untuk mengairi tanaman yang mengalami kekeringan,irigasi tetes
juga dapatmenghemat air dan pupuk dengan
membiarkan air menetes pelan-pelan ke akar tanaman, baik melalui permukaan
tanah atau langsung ke akar, melalui jaringan katup, pipa dan emitor.
Irigasi tetes
merupakan metode pemakaian air untuk tanaman yang terdiri dari jalur pipa yang
ekstensif biasanya dengan diameter yang kecil yang memberikan air yang
tersaring langsung ke tanah yang dekat dengan tanaman. Alat pengeluaran air
pada pipa disebur “ pemancar” (emiter) yang mengeluarkan air hanya beberapa
liter per jam. Dari pemancar, air menyebar secara menyimpang dan tegak oleh
gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi.
Daerah yang dibatasi oleh pemancar tergantung
pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah dan permeabilitas tanah
vertikal dan horisontal. Aliran dapat diatur secara manual atau dipasang secara
otomatis untuk menyalurkan volume yang diinginkan, air untuk waktu yang telah
ditetapkan atau air apabila kelembaban tanah menurun untuk suatu jumlah
tertentu (Hansen, 1979). Hillel (1982) mendefiniskan irigasi tetes sebagai
pengaliran air secara perlahan dalam bentuk tetesan yang berlainan, tetesan
yang terus menerus, cucuran yang kecil atau spray mini melalui peralatan
mekanik yang dinamakan emiter yang terletak pada titik-titik tertentu sepanjang
aliran air.
Beberapa keuntungan, dari sistem irigasi tetes
adalah :
1. Pengelolaannya mudah, semprotan hama,
panen, pemangkasan dan sebagainya dapat dikerjakan pada saat yang sama dengan
irigasi, yang sangat besar manfaatnya untuk kebun buah-buahan.
2.
Mengurangi tenaga kerja, hal ini penting bagi negara-negara yang sulit untuk
memperoleh tenaga kerja di lahan dan sangat mahal.
3. Dapat
mengontrol air dan pupuk, dimana jumlah air, pupuk dan frekuensi pemakaian
dapat dikotrol dengan sistem ini. Irigasi ini dapat mengontrol jumlah air dan
pupuk pada daerah akar dan sekitarnya sehingga pertumbuhannya meningkat.
Peningkatan sampai 10-20% hasil panen dan 20 –30% penghematan air dapat
diharapkan dar penggunaan irigasi tetes ini (Turner, 1984).
4.
Kehilangan air akibat perkolasi dan evaporasi berkurang, karena air langsung
diberikan dekat dengan tanaman yang menyebabkan basah di daerah perakaran saja.
Sehingga penguapan air sangat efisien dan peningkatan penggunaan efektivitas
air dapat tercapai.
5. Mudah
mengendalikan hama penyakit, gulma, bakteri dan jamur, karena sebagian saja
tanah yang basah, sedang di daerah lainnya tetap kering yang menyebabkan
tanaman pengganggu sulit untuk tumbuh dan berkembang (Scwab, 1981)
6. Dapat
meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen, sebagai akibat dari kemampuan
irigasi tetes dalam memelihara tanah agar tetap lembab pada daerah perakaran. Irigasi
ini sangat baik untuk tanaman buah-buahan yang mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi, seperti : apel, tomat, jeruk, anggur, arbei dan sebagainya. Namun,
tidak praktis dan ekonomis untuk tanaman yang ditanam secara rapat, seperti
padi-padian.
Disamping
keuntungan tersebut, irigasi tetes juga mempunyai beberapa kelemahan,
diantaranya :
1. Penyumbatan,
masalah yang paling besar dari sistem irigasi ini adalah Sensitif terhadap
penyumbatan pada emiter. Partikel pasir, liat, sampah, lapisan endapan bahan kimia
dari pupuk dan bahan organik yang dapat menyumbat aliran dari pemancar.
2.
Perkembangan akar terbatas, karena irigasi tetes memberikan air hanya pada
sebagian volume tanah,maka akar tanaman akan terkonsentrasi pada daerah
pembasahan saja (Turner, 1984).
3. Biaya investasi mahal.
4. Dibutuhkan tenaga kerja yang mempunyai
keahlian untuk dapat merancang, mengoperasikan dan memelihara peralatan
penyaringan dan peralatan irigasi tetes.
5. Akumulasi
garam di dekat daerah perakaran. Bila garam yang tidak larut tertinggal di
dalam tanah, karena air yang digunakan oleh tanaman, pengendapan yang paling
banyak adalah di daerah perakaran. Apabila hujan membilas garam dekat permukaan
ke dalam daerah perakaran dapat mengakibatkan kerusakan yang hebat pada tanaman
(Hansen, 1979).
2.1.2 Sistem Padi Sawah
Padi (oryza sativa) adalah bahan baku pangan pokok yang
penting bagi rakyat Indonesia. Menanam padi sawah sudah mendarah daging bagi
sebagian besar petani di Indonesia. Mulanya kegiatan ini banyak diusahakan di
pulau Jawa. Namun, saat ini hampir seluruh daerah di Indonesia sudah tidak
asing lagi dengan kegiatan menanam padi di sawah.
Sistem penanaman padi di sawah biasanya didahului oleh pengolahan tanah secara sempurna seraya petani melakukan persemaian. Namun kebutuhan airnya harus terpenuhi. Oleh karena itu ada beberapa sistem budidaya yang dikenal di Indonesia,diantaranya:
Sistem penanaman padi di sawah biasanya didahului oleh pengolahan tanah secara sempurna seraya petani melakukan persemaian. Namun kebutuhan airnya harus terpenuhi. Oleh karena itu ada beberapa sistem budidaya yang dikenal di Indonesia,diantaranya:
1. Bertanam
padi di sawah tadah hujan
Dalam mengusahakan padi di sawah, soal yang terpenting adalah
bidang tanah yang ditanami harus dapat:
· Menanam
air sehingga tanah itu dapat digenangi air.
· Mudah
memperoleh dan melepaskan air.
Pematang atau galengan memegang peranan yang sangat penting,
karena dalam sistem bertanam padi di sawah tadah hujan ini, pematang atau
galengan ini harus kuat dan dirawat, karena bertanam padi di sawah tadah hujan
memerlukan air, sehingga dengan galengan-galengan sawah ini air dapat bertanam
di petakan sawah. Dan padi dengan sistem penanaman tadah hujan ini tidak dapat
ditanam pada tanah yang datar.
Penggarapan bertanam padi di sawah tadah hujan ini digarap
secara “basahan” yaitu menunggu sampai musim hujan tiba dan dalam proses
penanaman padi ini memakai bibit persemaian.
2. Bertanam
padi pada lahan kering
Dalam mengusahakan padi di lahan kering atau
ladang atau biasa disebut padi gogo ini, relatif lebih mudah dibandingkan
dengan padi sawah tadah hujan. Dalam sistem penggarapan padi di lahan kering
atau ladang ini biasa dikerjakan sebelum musim penghujan tiba. Sementara dalam
proses pembibitan atau penanamannya, padi gogo rancah ini tidak memerlukan
persemaian, sehingga benih dapat langsung ditanam di sawah sebelum atau pada
permulaan musim hujan sehingga tidak ada resiko bibit menjadi terlalu tua.
Padi gogo rancah ini tidak
banyak memerlukan air hujan, pada permulaan selama 30 atau 40 hari. Hidup padi
ini keringan bahkan bila kebanyakan air hujan, maka air tersebut harus dibuang.
Sesudah itu bilamana air hujan cukup, maka padi gogo rancah ini dapat dijadikan
padi sawah biasa. Tetapi kalau tidak ada hujan, dapat hidup kekeringan, maka
resiko mati sangat kecil.
3. Bertanam
padi tanpa olah tanah (TOT).
Meskipun disebut bertanam padi sawah ini tanpa olah tanah tetapi tidak berarti bahwa tak ada persiapan sama sekali. Sistem ini masih merupakan bagian pengolahan tanah konservasi yang melibatkan perbedaan mendasar dengan penanaman padi biasa. Pembajakan dan pencangkulan di dalam sistem TOT ini tidak ada dan dalam sistem TOT ini dilakukan penyemprotan herbisida terhadap sisa tanaman padi (singgang) atau gulma yang tumbuh.
Secara umum kegiatan bertanam padi sawah tanpa olah tanah ini dapat diartikan sebagai penanaman padi di lahan sawah yang persiapan lahannya tanpa pengolahan tanah dan pelumpuran, tetapi cukup dengan bantuan herbisida dalam mengendalikan gulma dan singgangnya. Tanaman padi ini dapat tumbuh seperti pada lahan yang diolah biasa. Hal ini disebabkan karena singgang dan gulma yang membusuk akan melonggarkan tanah sehingga akar padi dapat berkembang dengan mudah dan tanaman padi dapat tumbuh seperti biasa. Bibit padi dari persemaian dapat langsung ditanam pada tanah tanpa olah yang sudah lunak karena digenang terlebih dahulu. Dapat juga benih ditebarkan langsung (tabela) atau ditabur dalam air yang sudah disediakan.
Meskipun disebut bertanam padi sawah ini tanpa olah tanah tetapi tidak berarti bahwa tak ada persiapan sama sekali. Sistem ini masih merupakan bagian pengolahan tanah konservasi yang melibatkan perbedaan mendasar dengan penanaman padi biasa. Pembajakan dan pencangkulan di dalam sistem TOT ini tidak ada dan dalam sistem TOT ini dilakukan penyemprotan herbisida terhadap sisa tanaman padi (singgang) atau gulma yang tumbuh.
Secara umum kegiatan bertanam padi sawah tanpa olah tanah ini dapat diartikan sebagai penanaman padi di lahan sawah yang persiapan lahannya tanpa pengolahan tanah dan pelumpuran, tetapi cukup dengan bantuan herbisida dalam mengendalikan gulma dan singgangnya. Tanaman padi ini dapat tumbuh seperti pada lahan yang diolah biasa. Hal ini disebabkan karena singgang dan gulma yang membusuk akan melonggarkan tanah sehingga akar padi dapat berkembang dengan mudah dan tanaman padi dapat tumbuh seperti biasa. Bibit padi dari persemaian dapat langsung ditanam pada tanah tanpa olah yang sudah lunak karena digenang terlebih dahulu. Dapat juga benih ditebarkan langsung (tabela) atau ditabur dalam air yang sudah disediakan.
Keuntungan menanam padi dengan
sistem Tanpa Olah Tanam (TOT):
· Kualitas
pertumbuhan tanaman dan hasil panen tidak berbeda dengan penanaman padi biasa.
· Menghemat biaya persiapan lahan 40% yang juga
mengurangi biaya produksi.
· Menghemat
waktu musim tanam sampai 1 bulan, artinya jumlah penanaman dalam satu tahun air
ditingkatkan.
· .Mengurangi
pemakaian air lebih dari 20%.
· .Mempermudah
kemungkinan penanaman secara serempak sehingga konsep pengendalian hama terpadu
(PHT) padi sawah diterapkan.
2.1.3 Sistem Tanam Campuran
Tanaman Semusim dan Tahunan
Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mixed
cropping (pohon dengan tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap
jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai
contoh, jenis tanaman yang bercabang banyak akan menaungi tanaman yang
lain. Beberapa tanaman yang jaraknya
tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan
‘facilitation’.Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya
memberikan naungan yang menguntungkan
bagi tanaman kopi.
Contoh lain, jenis tanaman yang berperakaran lebih dalam
daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap air dan hara dari
lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di sekitar
tanaman akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya
akan menimbulkan kompetisi anta Dalam sistem pertanian
campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam berdampingan
Pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaaan sumber
kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya
diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan terhadap tanaman lain. Hambatan
dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Hambatan secara langsung, misalnya melalui efek allelophathy, tetapi hambatan secara langsung
ini jarang dijumpai di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui berkurangnya
intensitas cahaya karena naungan pohon, atau menipisnya ketersediaan hara dan
air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan.
2.2 SISTEM PERTANIAN DI
INDONESIA
Adapun
sistem pertanian yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
2.2.1 Sistem Pertanian
Dengan Pengumpulan Hasil Tanaman
Sistem pertanian dengan pengumpulan hasil tanaman, sistem ini
adalah sistem pertanian yang secara langsung memperoleh hasil tanaman dari
tanaman-tanaman yang tidak dibudidayakan, sistem ini biasanya dijalankan
bersamaan dengan sistem berburu binatang dan tangkapan ikan. Jarang sistem
pengumpulan hasil tanaman terdapat sebagai kegiatan tunggal. Di beberapa daerah
seperti di Irian Jaya sistem ini masih terdapat.
2.2.2 Sistem Pertanian Dengan Budidaya Tanaman
Dalam pertanian, budidaya merupakan
kegiatan terencana pemeliharaan sumber
daya hayati yang dilakukan pada
suatu areal lahan untuk diambil
manfaat/hasil panennya. Kegiatan budidaya dapat dianggap sebagai inti dari usaha tani.
Usaha budidaya tanaman mengandalkan pada pengguna-an tanah atau media lainnya di suatu lahan
untuk membesarkan tanaman dan lalu memanen bagiannya
yang bernilai ekonomi. Bagian ini dapat berupa biji, buah/bulir, daun, bunga, batang, tunas, serta semua bagian lain yang
bernilai ekonomi. Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan dengan media tanah
dikenal pula sebagai bercocok tanam.
Suatu
kegiatan dimasukkan kedalam tindak budidaya dikatakan apabila telah melakukan 3 hal pokok
yaitu:
1. Melakukan pengolahan tanah
2. Pemeliharaan untuk mencapai p roduks i maksimum.
3. Tidak berpindah pindah
2.2.3 Sistem pertanian untuk
padang penggembalaan dan peternakan
Pasture adalah semua rumput atau
tanaman lain untuk dirumput/disenggut oleh hewan: “herbage”. Yang termasuk
kelompok ini adalah semua hijauan baik yang dipotong atau tidak dan diberikan
segar . Padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh
tanaman pakan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat merenggutnya menurut
kebutuhannya dalam waktu singkat. Padang penggembalaan dapat terdiri atas
rumput-rumputan, kacang-kacangan atau campuran keduanya, dimana fungsi
kacang-kacangan dalam padang penggembalaan adalah memberikan nilai makanan yang
lebih baik terutama berupa protein, phosphor dan kalium .
Tipe Padang Penggembalaan
Padang penggembalaan dapat
diklasifikasikan menjadi empat golongan utama, yaitu: Padang Penggembalaan
Alam, Padang Penggembalaan Permanen yang sudah diperbaiki, Padang Penggembalaan
Buatan (Temporer), dan Padang Penggembalaan dengan Irigasi.
1.
Padang Penggembalaan Alam
Spesies tumbuh-tumbuhan pakan ternak
yang terdapat dalam golongan ini belum disebar atau ditanam dan floranya
relatif belum diganggu oleh campur tangan manusia (McIlroy, 1976). Reksohadiprodjo (1994)
menambahkan bahwa manusia hanya mengawasi ternak yang digembalakan. Ternak
berpindah-pindah secara normal. Menurut Mc Illroy (1976), pengikutsertaan
leguminosa yang sesuai untuk membentuk pertanaman campuran rumput atau
leguminosa dan pengaturan penggembalaan merupakan langkah pertama yang penting
untuk perbaikan padang rumput ini.
2.
Padang Penggembalaan Permanen yang sudah diperbaiki
spesies-spesies hijauan pakan ternak
dalam golongan ini belum disebar atau ditanam tetapi komposisi botaninya telah
diubah dengan jalan mengatur penggembalaaan dengan seksama atau dengan
pemotongan, drainase, penggunaan pupuk, pengolahan tanah, penanaman ulang dan
pemberantasan tumbuh-tumbuhan pengganggu .
3. Padang Penggembalaan Buatan
(Temporer)
Tanaman-tanaman makanan ternak dalam padangan telah ditanam, disebar dan dikembangkan oleh manusia. Padangan dapat menjadi padangan permanen
atau seling dengan tanaman pertanian, padang penggembalaan temporer dibedakan
menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek dilakukan antara
3-4 tahun yang dilakukan dengan jalan memberikan tanaman selingan berupa
tanaman pertanian untuk perbaikan kesuburan tanah.Jangka panjang dilakukan antara
6-10 tahun, dimana setelah mencapai kurang lebih 10 tahun padang penggembalaan
dibongkar langsung untuk direnovasi, jadi tanpa adanya tanaman selang.
4.
Padang Penggembalaan dengan Irigasi
Padangan biasanya terdapat di daerah sepanjang sungai atau dekat sumber
air. Penggembalaan ternak dijalankan setelah padangan menerima pengairan
selama 2 sampai 4 hari. Cara penggembalaan dengan irigasi dibedakan
menjadi: cara ekstensif; cara semi ekstensif; cara stripgrazing; seiling (zero
grazing) yaitu hijauan dipotong manusia dan diberikan di kandang. Supaya
dapat mempertahankan hasil yang tinggi, maka padang penggembalaan irigasi
diperlukan pemupukan .
Komposisi botani padang penggembalaan tidak selalu konstan. Perubahan
susunan komponen selalu terjadi oleh pengaruh musim, kondisi tanah dan sistem
penggembalaan.Komposisi suatu padangan dipengaruhi oleh curah hujan, ketinggian
tempat dan pengelolaan penggembalaan. Komposisi botani suatu padang rumput
sebagian besar ditentukan oleh tata laksananya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa
penggembalaan berat pada awal musim penggembalaan yang diikuti dengan periode
istirahat cenderung akan menekan jenis tumbuhan yang masak dini dan
menguntungkan jenis-jenis yang tumbuh lambat, sedangkan jika menunda
penggembalaan sampai musim penggembalaan lebih lanjut akan berpengaruh
sebaliknya.
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Di Indonesia
dikenal ada empat sistem pertanian. Keempat sistem itu adalah :
1. Sistem ladang
merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari
tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat
minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang
terjadi karena sistem hutan.
2. Sistem tegal
pekarangan berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air
yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah
itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah.
3. Sistem sawah,
merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dan
pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga
kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang
sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk
produksi pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.
4. Sistem
perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu
milik swasta asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena
kebutuhan tanaman ekspor.
Klasifikasi
Sistem Pertanian :
Sistem
pertanian tropik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
Ø
Sistem pertanian yang
bersifat pengumpulan hasil tanaman
Ø
Sistem pertanian yang bersifat budidaya tanaman
Ø
Sistem pertanian untuk makanan ternak dan
padang penggembalaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995.
Hortikultura Aspek dan Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Zulkarnain. 2001. Pertanian
Organik: Sistem Pertanian Berbasis Produktivitas dan Lingkungan Hidup.
Universitas Jambi. Jambi.
Mc Ilroy, R. J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput
Tropika. Pradnya Paramita.Jakarta.
http://ilmuternakkita.blogspot.com
TANAMAN DAN DAMPAK
LINGKUNGAN
I.
PENDAHULUAN
Tanaman
dapat berfungsi sebagai indikator kondisi lingkungannya. Tanaman bereaksi
terhadap kondisi tanah maupun perubahan cuaca. Komposisi tanaman di suatu
kawasan, mencerminkan karakter utama ekosistem di lokasi tersebut. Sebab sifat
tanaman juga berbeda-beda. Ada yang menuntut kandungan Nitrogen rendah,
keasaman tinggi, kelembaban tertentu atau juga suhu tertentu. Parameter ini
merupakan nilai indikator yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi
habitat.Secara pasif tanaman juga dapat digunakan sebagai alat monitor
lingkungan untuk sektor vegetasi yang khas. Tanaman yang dijadikan indikator,
biasanya merupakan acuan bagi neraca penggunaan energi dan mineral tertentu di
alam. Bio-indikator ini, khususnya mencerminkan efektifitas biologi dari
komponen sistem.
Secara
alami, tanaman yang dijadikan indikator biologi, mencerminkan pengaruh habitat
terhadap jenis dan jumlah tanaman. Tentu saja pengamatan indikator lingkungan
semacam itu, memerlukan data pembanding. Selain itu penelitiannya harus
dilakukan dalam waktu cukup panjang. Salah seorang pelopor dalam penggunaan
bio-indikator dan bio-monitoring adalah almarhum Heinz Ellenberg pakar botani
dari Universitas Stuttgart-Hohenheim. Dalam berbagai bukunya Ellenberg
memaparkan hasil penelitian selama 30 tahun terhadap karakter vegetasi di
Eropa, yang mencerminkan kondisi lingkungannya. Ellenberg misalnya membuat
skala suhu dari satu sampai sembilan untuk menentukan karakteristik vegetasi.
Kelompok tanaman yang hidup di skala suhu satu, artinya tahan cuaca dingin dan
di skala sembilan tahan cuaca panas. Pembuatan skala ini menjadi penting,
karena tanaman yang akan dijadikan bio-indikator harus hidup pada skala yang
sempit.
Jenis-jenis
tanaman yang dapat hidup di suhu dingin maupun panas dengan penyebaran luas,
tidak dapat digunakan sebagai indikator. Misalnya saja pengamatan atas sejenis
lumut, sejak 150 tahun lalu menghasilkan data cukup lengkap. Artinya lumut tsb
dapat digunakan sebagai bio-indikator atau membandingnya. Lumut bereaksi amat
sensitif terhadap pencemaran lingkungan, perubahan temperatur serta stress
terhadap lingkungan. Perubahan warna lumut, matinya lumut dalam skala besar
atau pertumbuhan luar biasa, merupakan indikator terjadinya perubahan. Dari
hasil berbagai penelitian itu, tentu saja para ahli mengharapkan dapat menarik
kesimpulan menyangkut penyebab perubahan. Misalnya saja sistem tebang habis
hutan di berbagai tempat, menyebabkan perubahan kelembaban udara. Emisi gas
rumah kaca dalam jumlah besar, menyebabkan pemanasan global dan peningkatan
radiasi ultra vilolet, yang jejaknya dapat ditemukan secara luas pada tanaman.
Meluasnya serangan gulma di perairan, juga bisa dilacak penyebabnya. Misalnya
akibat pemupukan berlebihan atau akibat matinya musuh alami gulma akibat
pemanasan global.
Tentu
saja kaitan antara berbagai faktor penyebab perubahan lingkungan itu amat
rumit. Para ahli biologi meneliti kaitan berbagai faktor tadi, untuk membuat
sistem peringatan dini. Misalnya jika radiasi sinar ultra violet meningkat
akibat meluasnya lubang ozon, dapat diamati dampaknya pada tanaman. Kesimpulan
ilmiah yang ditarik, bisa digunakan sebagai landasan untuk mengingatkan
kemungkinan meningkatnya kasus kanker kulit misalnya. Atau juga musnahnya
ganggang laut serta terumbu karang dalam skala luas, bisa digunakan sebagai
tanda peringatan terjadinya peningkatan suhu air laut.Perubahan ekosistem ada
yang sifatnya lokal, regional maupun global. Bila bio-indikator dan
bio-monitoring menunjukan perubahan ekosistem secara global, para ahli secara
lintas disiplin bisa saling memperingatkan adanya ancaman bahaya. Setelah itu
bisa dirundingkan langkah-langkah pencegahannya. Bahkan rekomendasi para pakar,
bisa dijadikan acuan bagi tindakan internasional. Kini semakin disadari,
perubahan lingkungan sekecil apapun, pasti menimbulkan dampak terhadap makhluk
hidup di habitat tsb. Berbagai parameter atau faktor penyebab perubahan dapat
dilacak, dengan memperhatikan bio-indikator lokal maupun global. Akan tetapi
walaupun alam sudah memberikan peringatan, seringkali manusia tidak
memperdulikannya. Sebab seringkali perubahan yang merugikan, adalah produk
sampingan dari aktifitas manusia juga.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-Faktor Biotik yang Mempengaruhi Tanaman
Hama,Penyakit,dan Gulma.
Hama dan penyakit seringkali
mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu, bahkan dapat menggagalkan
terwujudnya produksi. Hama yang merusak tanaman bisa disebabkan oleh hewan dari
kelas rendah sampai dengan hewan kelas tinggi (mamalia). Sedangkan penyakit
tumbuhan disebabkan oleh bakteri dan jamur. Kekurangan hara pun termasuk
golongan penyakit. Sedangkan gulma adalah tumbuhan liar yang mengganggu tanaman
budidaya. Contoh : rumput, alang-alang, benalu.
Hama
Hama
adalah pengganggu tanaman yang berupa hewan. Berdasarkan klasifikasi hama
pengganggu tanaman, dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh, yaitu
1.
Mamalia : babi hutan, burung
2.
Rodentia
: tikus sawah, tupai
3.
Anthropoda
: serangga/insekta (ulat)
4.
Nematoda
: ulat tanah, cacing
Pertumbuhan
dan perkembangan hama seperti pertumbuhan dan perkembangan binatang lain. Mereka
juga membutuhkan makanan yang mengandung gizi yang diperlukan oleh tubuh.
Tatapi tidak setiap hama cocok dengan makanan yang ada pada seluruh bagaian
tumbuhan, kadang-kadang mereka hanya makan bagian tertentu dari tanaman
tersebut seperti pucuk tanaman atau titik tumbuh, daun, batang, akar, buah atau
biji.
Kerusakan
tanaman atau bagian tanaman yang disebabkan oleh hama menyebabkan kondisi
tanaman menjadi tidak normal lagi. Tanda-tanda yang nampak dari luar pada
tanaman yang sakit ialah :
1.
Terjadi perubahan warna pada organ
tanaman, seperti daun dan batang menguning atau coklat.
2.
Tanaman layu sebagai akibat sel-sel
dan jaringan tanaman yang dirusak oleh hama, bahkan tanaman tersebut bisa mati.
3.
Tanaman kerdil karena fungsi
jaringan terganggu sehingga tidak dapat menyalurkan makanan dengan baik.
Kondisi
tanaman yang tidak normal ini kelak dapat mengakibatkan tanaman kehilangan
hasil (jield losses). Hal ini merupakan akibat proses terbentuknya buah atau
biji terganggu oleh organ tubuh yang rusak. Beberapa contoh hama yang menyerang
tanaman budidaya antara lain :
1.
Tikus menyerang padi, jagung dan
singkong
2.
Tupai dan belalang Sexava menyerang
kelapa
3.
Kutu loncat menyarang lamtorogung
dan petai cina
4.
Ulat penggerek buah jagung (Helicoverpa
armigera)
5.
Hama wareng coklat menyerang batang
padi (Nilaparvata lugens)
6.
Hama walang sangit menyerang bulir
padi muda (leptocorisa oratorius (F))
7.
Ulat kupu artona menyerang kelapa
Penyakit
Penyakit adalah pengganggu
tanaman yang disebabkan oleh bakteria, virus dan jamur (golongan mikroorganisme).
Pertumbuhan tanaman yang terserang penyakit, terganggu aktivitas jaringan
tanaman serta sel-sel yang didalamnya, menjadi tidak normal lagi.
Beberapa contoh penyakit yang
menyerang tanaman budidaya yang disebabkan oleh mikroba (virus, jamur, bakteri)
antara lain:
1. Penyakit
bulai, menyerang tanaman jagung yang disebabkan oleh cendawan/jamur.
2. CVPD
(Citrus Vein Phloem Degeneration) merupakan penyakit kerusakan pembuluh
tapis/floem pada tanaman jeruk yang disebabkan virus.
3. Jamur
Armelaria, menyerang akar tanaman jeruk.
4. Penyakit
hangus, disebabkan oleh jamur Ustilago maydis yang menyebabkan biji jagung
menjadi kehitaman.
5. Penyakit
VSD (Vascular Streak Dieback) yang menyerang jaringan pembuluh tanaman coklat.
6. Penyakit
tungro disebabkan oleh virus tungro, menyerang padi debgab gejala-gejala warna
daun kuning, anakan berkurang, kerdil, seperti kurang nitrogen.
Gulma
Gulma biasanya dinamakan
“tumbuhan pengganggu”, tetapi bagi gulma lebih populer disebut rumput-rumputan.
Menurut para ahli, gulma terdiri atas 3 golongan utama : golongan rumput,
golongan teki, golongan tumbuhan berdaun lebar. Gulma yang paling banyak
mengganggu tanaman ialah golongan rumput, golongan berdaun lebar, dan yang
paling sedikit golongan teki. Meskipun begitu, golongan teki ini yang banyak
merusak.
Golongan
rumput
Ø
Echinochloa crus galli (jawan,
jajagoan)
Ø
Echinochloa colonum (tuton, jajagoan
leutik)
Ø
Panicum repens (suket balungan,
jajahean)
Golongan
teki
Ø
Cyperus difformis (sunduk welut,
jukut papayungan)
Ø
Cyperus iria (jakeng)
Golongan
berdaun lebar
Ø
Marsilea crenata (semanggen,
semanggi)
Ø
Salvinia molesta (janji, jukut cai)
Ø
Sagittaria guayanensi (eceng)
Ø
Limnocharis flava (genjer)
Ø
Monochoria vaginalis (wewehan, eceng
lembut)
Beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan gulma antara lain:
1.
Penyiangan dengan tangan dengan
mencabut gulma
2.
Penyiangan dengan landak/alat
mekanis/bajak kecil
3.
Mematikan rumput dengan perendaman
4.
Pengendalian dengan herbisida/bahan
kimia untuk mengendalikan gulma
5.
Pengendalian dengan cara tumpang
sari, misalnya dengan tanaman kacang-kacangan bisa menambah unsur nitrogen
Pengendalian dan pemberantasan hama, penyakit dan gulma tanaman
Pemberantasan gulma, hama dan
penyakit tanaman dapat dilakukan secara fisis (mekanik), secara kimiawi, secara
biologis, dan secara langsung.
1. Pemberantasan secara fisis yaitu memberantas
gulma, hama, dan penyakit tumbuhan dengan membunuhnya satu per satu
2. Pemberantasan gulma secara kimiawi yaitu
memberantas gulma, hama, dan penyakit dengan menggunakan zat kimia atau
pestisida.
Macam-macam pestisida sebagai
berikut :
1.
Insektisida
untuk mengendalikan serangga
2.
Fungisida untuk
mengendalikan fungi atau jamur
3.
Herbisida
untuk mengendalikan gulma
4.
Bakterisida
untuk mengendalikan bakteri
5.
Rodentisida
untuk mengendalikan tikus
6.
Moluskisida
untuk mengendalikan moluska
7.
Nematisida
untuk mengendalikan nematoda
Selain menggunakan zat kimia
yang dibuat di pabrik (pestisida kimia sintetis) , pemberantasan penggangu
tanaman dapat menggunakan berbagai jenis tanaman (pestisida nabati), misalnya
sebagai berikut :
1.
Bawang putih untuk membunuh ngengat,
belalang, dan ulat buah
2.
Tomat untuk membunuh ulat daun
3.
Cabai untuk memberantas semut dan
serangga kecil lain
4.
Empon-empon (tanaman obat yang
berbentuk umbi) untuk mengusir wareng
5.
Pestisida Bt (Bioteknologi) sekarang
banyak digunakan untuk pengganti pestisida tang berbahaya. Pestisida Bt
mengandung toksin (zat racun yang dihasilkan oleh suatu jenis organisme) dibuat
secara alami melalui bakteri Bacillus thuringiensis. Pestisida Bt tidak
berbahaya bagi manusia dan hewan, tetapi profesional membasmi hama
6.
Pemberantasan hama secara biologis
yaitu memberantas gulma, hama, atau penyakit dengan musuh alaminya atau dengan
melapaskan hewan jantan mandul. Hewan jantan mandul diperoleh dengan cara
meradiasi hewan jantan. Setelah itu, hewan jantan dilepaskan ke alam untuk
bersaing dengan hewan jantan normal dalam membuahi hewan betina.
7.
Pemberantasan hama secara ekologis
yaitu memberantas gulma, hama atau penyakit dengan cara merubah lingkungan
Pengendalian hama dan
penyakit dapat berhasil baik apabila memperhatikan hal berikut :
1.
Waktu penggunaan, pestisida hanya
digunakan pada waktu-waktu tertentu saja disaat pengguanaan cara lain sudah
tidak memungkinkan lagi
2.
Dosis yang tepat, pestisida
digunakan dengan dosis yang tepat disesuaikan dengan kondisi setempat
3.
Luas areal yang terserang, pestisida
digunakan seperlunya saja sesuai dengan luas areal yang terserang agar efek
lethal pestisida pada areal pertanaman yang lain tidak terpengaruh
Jenis
pestisida yang selektif, dipilih pestisida yang secara efektif hanya mematikan
jenis hama atau penyakit sasaran saja dan mempunyai daya racun tinggi.
2.2
Kompetisi intra dan antar Spesies
Di
alam organisme tidak hidup sendirian tetapi berdampingan dan saling berinteraksi
dengan organisme yang lainnya. Begitupun yang terjadi terhadap tumbuhan,
interaksi ini bisa terjadi antara tumbuhan yang sejenis ataupun tidak sejenis.
Kompetisi tersebut dapat berbentuk perebutan sumber daya yang terbatas(
resource
competition)atau saling menyakiti antar indifidu yang sejenis dengan kekuatan
fisik (interference competition). Kompetisi yang terjadi antara individu sejenis
disebut sebagai kompetisi intraspesifik sedangakan interaksi antara individu
yang
tidak sejenis disebut interaksi interspesifik.Kecepatan perkecambahan biji tumbuhan
dan pertumbuhan anakan (seedling)merupakan suatu faktor yang menentukan
kemampuan spesies tumbuhan tertentu untuk menghadapi dan menaggulangi
persaingan yang terjadi. Apabila suatu tanaman berkecambah terlebih dahulu di
banding suatu tanaman yang lain maka tanaman yangtumbuh lebih dahulu dapat
menyebar lebih luas sehingga mampu memperoleh cahayamatahari, air, dan unsur
hara tanah lebih banyak di bandingkan dengan yang lain.Persaingan tumbuhan
dalam suatu spesies mampu di liat pada jarak antartumbuhan. di mana sebenarnya
persaingan yang paling keras terjadi antara tumbuhanyang sama spesiesnya,
sehingga tegakan besar dari sepesies tunggal sangat jarang ditemukan di alam.
Persaingan antar tumbuhan yang sejenis ini mempengaruhipertumbuhannya karena
pada umumnya bersifat merugikan.Kompetisi antara tanaman tersebut terjadi
karena faktor tumbuh yang terbatas.Faktor yang dikompetisikan antara lain hara,
cahaya, CO2, cahaya dan ruang tumbuh.Besarnya daya kompetisi tumbuhan
kompetitor tergantung pada beberapa faktor antaralain jumlah individu dan berat
tanaman kompetitor, siklus hidup tanaman kompetitor,periode tanaman, dan jenis
tanaman.
2.3 Konsep aliran Enegi dalam pertanian
2.3.1 Mengukur
produktifitas
Produktivitas
adalah Laju produksi suatu makhluk hidup dalam ekosistem
perairan. produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka
waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi
jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan
lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di
antara organisme penyusun eksosistem. terjadinya perbedaan produktivitas pada
berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam
setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas
bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan.
Produktivitas harus diukur selama waktu
yang tepat, karena terdapat perbedaan metabolisme selama siang dan malam hari.
Perbedaan metabolisme juga terjadi antar musim, oleh sebab itu pengukuran
energi dalam skala tahunan. Berbagai metode dilakukan untuk mengukur
produktivitas primer, setiap prosedur memiliki keuntungan dan kerugian
sendiri-sendiri. Salah satu metode dalam pengukuran produktivitas primer yang
biasa digunakan adalah metode pemanenan.
Metode ini merupakan metode paling awal
dalam mengukur produktivitas primer. Caranya adalah dengan memotong bagian
tanaman yang berada di atas permukaan tanah, baik pada tumbuhan yang tumbuh di
tanah maupun yang tumbuh di dalam air. Bagian tanaman yang dipotong selanjutnya
dipanaskan sampai seluruh airnya hilang atau beratnya konstan. Materi tersebut
ditimbang, dan produktivitas primer dinyatakan dalam biomassa per unit area per
unit waktu, misalnya sebagai gram berat kering/m2/tahun. Metode ini menunjukan perubahan berat
kering selama periode waktu tertentu.
Metode ini memang tidak cocok untuk
mengukur produktivitas primer fitoplankton, karena ada beberapa kesalahan,
misalnya perubahan biomassa yang terjadi tidak hanya diakibatkan oleh
produktivitas tetapi juga berkurangnya fitoplankton karena pemangsaan oleh
hewan-hewan pada trofik di atasnya, atau mungkin jumlah fitoplankton berubah
karena gerakan air dan pengadukan. Metode ini umum dilakukan untuk lingkungan
terestrial.
Produktivitas dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Produktivitas primer
Produktivitas primer adalah lajudimana energi pancaran atau cahaya disimpanoleh kegiatan
fotosintesis atau kemosintesis
organisme-organisme produsen dalam bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan.
Produktivitas
primer dibagi menjadi 2macam, yaitu:
a.
Produktivitas
primer bersih
Produktivitas primer bersih ialah laju
penyimpanan bahan organik di dalam jaringan tumbuh tumbuhan selama
jangka waktu tertentu waktu pengukuran.Rumus perhitungan :Keterangan
:NPP : produktivitas primer bersih atau lajupenyimpanan energi di dalam
ekosistem.GPP : produktivitas primer kotor t atua laju pemasukan energi ke
dalam ekosistem.R : respirasi atau laju
nergi yang digunakanbagi aktivitas ekosistem.
b.
Produktivitas
primer kotor
Produktivitas primer kotor ialah lajutotal dari
fotosintesis, termasuk bahan organik di
dalam respirasi selama waktupengukuran tertentu
2.
Produktivitas
Sekunder.
Kecepatan penyimpangan energy
potensial pada tingkat trofik konsumen dan pengurai, disebut
produktivitas sekunder. Dengan sendirinya
energi ini semakin kecil pada tingkat trofik berikutnya. Arus energitotal pada
tingkat heterotrofik yang analog dengan produktivitas kotor pada
tingkatautotrofik, sebaiknya dinamakan asimilasi bukan kata produksi. Cara paling
sederhana mengukur produktivitas sekunder
adalah dengan memperkirakan pertambahan bobot atau ukuran hewan
atau tumbuhan selama yang kawaktu tertentu. Energi yang terdapat pada makanan
tidak digunakan 100%. energi yang ditahan
setelah semua kehilangan pernafasan,ekskresi dan degestian biomassa Tumbuhan.
2.3.2 Menaikan Produksi Tanaman
Meningkatkan
produktivitas merupakan pekerjaan gampang-gampang susah. Gampang karena
sebetulnya kita mengetahui yang mempengaruhi hasil produksi. Susah, karena kita
tidak bisa mengendalikan semua faktor-faktor tersebut.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi produksi hasil pertanian diantaranya :
1. Benih
Benih adalah salah satu faktor yang mempengaruhi produksi pertanian. Faktor
ini termasuk yang dapat dikendalikan. Bila kita ingin yang benih yang baik,
kita tinggal membeli di toko dan pilih yang sudah teruji baik. Meskipun tidak
100% baik, namun sejauh ini kita masih dapat mempercayai benih yang dikeluarkan
oleh BUMN kita dibidang perbenihan.karena benih yang di hasil kan sudah
merupakan bibit unggulan.
2. Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
pertanian. Faktor ini termasuk faktor yang dapat dikendalikan, namun demikian
adakalanya pengendalian ini tidak sepenuhnya berhasil. Pengendalian ini
terkadang malah menyebabkan kondisi tanah menjadi rusak.
3. Iklim (termasuk kecukupan air)
Iklim adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pertanian yang tidak
dapat dikendalikan. Namun demikian kita masih dapat mengendalikan (walaupun
tidak seluruhnya) misal dengan membuat drainase, dengan mengadakan hujan buatan
dan lain-lain.
4. Pupuk yang diberikan
Pupuk adalah faktor yang mempengaruhi hasil pertanian, yang paling bisa
kita kendalikan. Bila ingin tinggi hasilnya, berikan saja pupuk yang baik
secara optimum.
5. Kondisi tanah
Kondisi tanah adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil
pertanian, dan kita dapat mengendalikan, walaupun tidak semuanya. Kondisi tanah
ini sering kurang dipahami oleh para petani dan para penyuluh pertanian,
padahal ini termasuk faktor yang sangat penting, karena berkaitan dengan faktor
pemberian pupuk.
Karena kondisi tanah sekarang ini kurang kondusif, yaitu karena terlalu
asam (akibat pemberian pupuk kimia secara berlebih dan terus menerus),
berkurangnya jasad renik dan mikroba tanah.
Sudah umum diketahui bahwa pemberian pupuk kimia secara terus menerus dapat
mengakibatkan kerusakan struktur tanah dan matinya beberapa mikroba dan jasad
renik dalam tanah. Salah satu fungsi jasad renik adalah mendekomposisikan
(menguraikan) unsur hara sehingga mudah dikonsumsi tanaman. Beberapa mikroba
(seperti rhizobium) bahkan dapat menangkap Nitrogen (N) bebas dari udara untuk
dikonsumsi tanaman. Padahal kurang lebih 70% udara kita terdiri dari Nitrogen.
Beberapa lainnya (seperti Michoriza), mampu menangkap P tidak tersedia untuk
tanaman menjadi tersedia. Jika jasad renik dan mikroba tanaman sangat kurang
jumlahnya dalam tanah, maka dapat diprediksi bahwa konsumsi pupuk akan sangat
tinggi dengan hasil yang sangat kurang.
2.3.3 Penggunaan Limbah
Limbah
pertanian adalah bagian tanaman pertanian diatas
tanah atau bagian pucuk, batang yang tersisa setelah dipanen atau diambil hasil
utamanya. Berdasarkan artinya pengertian limbah pertanian dapat diartikan
sebagai bahan yang dibuang di sektor
pertanian. Beberapa contoh limbah pertanian diantara lain adalah sabut dan tempurung kelapa,jerami dan dedak padi, dan sebagainya.Limbah pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yaitu limbah pra panen dan saat panen serta limbah pasca panen. Sedangkan limbah pasca panen itu juga terbagi menjadi limbah sebelum diolah dan limbah setelah diolah atau sering dikenal dengan limbah industri pertanian.
pertanian. Beberapa contoh limbah pertanian diantara lain adalah sabut dan tempurung kelapa,jerami dan dedak padi, dan sebagainya.Limbah pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yaitu limbah pra panen dan saat panen serta limbah pasca panen. Sedangkan limbah pasca panen itu juga terbagi menjadi limbah sebelum diolah dan limbah setelah diolah atau sering dikenal dengan limbah industri pertanian.
Sebagai contoh limbah pertanian
dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Namun pemanfaatan ini masih tergolong
rendah. Contoh lain adalah limbah pertanian jerami padi/jagung/ ubi
jalar, pada dasarnya limbah ini dapat digunakan sebagai pupuk organik, akan
tetapi petani lebih sering membakarnya setelah panen. Sangat disayangkan bukan.
Dewasa ini masih sangat minim pemanfaatan limbah pertanian, hal ini terbukti
dari sebuah penelitian hanya sekitar 30% peternak di Indonesia yang memanfaatkan
limbah pertanian sebagai pakan dan juga pupuk.
2.3.4 Penangkapan
Energi
Pertanian pada dasamya berhubungan dengan perubahan energi matahari ke
dalam bentuk bahan pangan maupun serat.Energi matahari merupakan sumber utama hubungannnya
dengan pertumbuhan tanaman, sembilan puluh persen bahan kering tanaman
pertanian berasal dari perubahan carbon melalui proses fotosintesis yang
tergantung cahaya.
Belakangan ini banyak ahli biologi yang mencoba menghitung produktivitas
tanaman dengan memperhatikan penangkapan energi matahari dan pengubahannya ke energi kimia
melalui proses fotosintesis.
Bahan dan hasil
akhir proses fotosintesis ditulis sebagai berikut:
(energi cahaya 673.000
kalori + klorofil)
Energi cahaya matahari yang digunakan berasal dari panjang gelombang 0,4
- 0,7 mikron.Efisiensi
fotosintesis dipengaruhi oleh laju fotosintesis.
Laju fotosintesis akan meningkat dengan
meningkatnya cahaya sampai batas-batas tertentu, walaupun laju fotosintesis
meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya, tetapi peningkatannya lambat
sehingga efisiensi penangkapan cahaya menurun.
Apabila intensitas cahaya tinggi secara relatif lebih banyak cahaya
tegak yang dipantulkan oleh daun-daun. Masuknya cahaya ke tajuk tanaman
dipengaruhi oleh sudut datangnya sinar dan susunan daun, tajuk yang ideal untuk
distribusi cahaya mempunyai susunan daun merata, pada bagian atas tajuk
mempunyai daun-daun lebih tegak dan lebih kecil sedang daun-daun bawah tersusun
secara horizontal.
Konsep aliran energi
dalam pertanian
Dengan menganggap tanaman sebagai alat penangkap, perubah dan penyimpan
energi, maka timbul usaha menaikkan efisiensi dan produktivitas
tanaman.Didaerah yang padat tanaman, beberapa faktor lingkungan segera menjadi
berkurang, cahaya, kelembaban tanah dan unsur hara. Hal ini merupakan faktor
pembatas dalam pertanian, pemupukan merupakan salah satu cara yang baik untuk
meningkatkan produksi.Efisiensi pertanian dapat diperoleh dengan
pcrbaikan tanaman melalui pemuliaan tanaman
Salah satu usaha untuk memperluas alat penangkap energi dengan
memperpanjang musim tanam misalnya menggunakan rumah kaca untuk tanaman yang
memungkinkan input teknologi dan modal besar seperti tanaman hortikultura di
daerah iklim sedang.Usaha mempengaruhi laju fotosintesis dengan cara pertukaran CO2
antara dedaunan dan atmosfer di sekitarnya. Di wilayah yang sebelumnya angin kurang diperhatikan, hasil jagung
dapat ditingkatkan bila barisan tanaman diarahkan tegak lurus arah angin,
sehingga pucuk tanaman tertiup angin dan terjadi perputaran dan pencampuran
udara.
2.3.5 Pangan dan Kebutuhan
Manusia
Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk
memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia,
aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan
istilah fungsi primer (primary function) yaitu memiliki kebutuhan yang wajib
dipenuhi oleh setiap manusia agar Membentuk energi yang diperlukan oleh tubuh.
Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya
juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu memiliki penampakan
dan cita rasa yang baik. Karena tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan
akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan
memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi
faktor penting dalam menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak
oleh masyarakat konsumen.
2.3.6 Gizi
Pengaruh
gizi terhadap perkembangan otak dan perilaku, terhadapkemampuan bekerja dan
produktivitas serta daya tahan terhadap penyakit infeksi. Di samping itu
ditemukan pula pengaruh stress, faktor lingkungan
seperti
polusi dan obat-obatan terhadap status gizi, serta pengakuan terhadap
faktor-faktor gizi yang berperan dalam pencegahan dan pengobatan terhadap
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, hati, dan
kanker.
Bila
dikelompokan ada 3 fungsi zat gizi dalam tubuh :
1.
Memberi energi
Zat gizi
yang tergolong ini adalah karbohidrat, lemak dan protein.Ketiga zat gizi itu
terdapat dalam jumlah paling banyak dalam bahan pangan.Dalam fungsi sebagai zat
pemberi energi, ketiga zat gizi tersebut dinamakan zat pembakar.
2.
Pertumbuhan dan pemelihara jaringan tubuh
Protein,
mineral, dan air adalah bagian dari jaringan tubuh. Oleh karena itu, diperlukan
untuk membentuk sel-sel baru, memelihara, dan
mengganti
sel-sel yang rusak. Dalam fungsi ini ketiga zat gizi tersebut
dinamakan
zat pembangun.
3.
Mengatur metabolisme tubuh
Protein,
mineral, air dan vitamin diperlukan untuk mengatur metabolisme tubuh. Protein
mengatur keseimbangan air dalam sel, bertindak sebagai buffer dalam upaya
memelihara netralitas tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Donald, C. M. 1963. Competition
among crops and pasture plants. Agronomy 2: 17-20.
Fuller, J.H. and L.B. Caronthus. 1964. The Plant World 4th ed.
Holt Richard Winston Inc, USA.
Hairah, K., M. Van Noordwijk dan D. Suprayoga. 2006. Interaksi Antara Pohon
Tanah Tanaman Semusim. <http://www.worldagroforestrycenter.org>.
Diakses pada tanggal 28 April 2010.
Odum,E.P. 1983. Basic Ecology. CBS Collage Publising, USA.
Purwanti, Setyastuti. 2004. Kajian
suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan kedelai kuning.
Ilmu Pertanian 11: 22-31.
Sumardi, kasli, Musliar Kasim, Auzar Syarif
dan Nazres Akhir. 2007. Respon padi sawah pada teknik budidaya secara aerobic
dan pemberian bahan organic. Jurnal Akta Agrosia 10: 65-71.
Walter, H. 1971. Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation Oliver and
Boyd. E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar